Mohon tunggu...
Fristian Shamsapeel Griec
Fristian Shamsapeel Griec Mohon Tunggu... -

I am me, \r\nI left 'my home' to find 'my own home'

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Melodi Kriuk...Kriuk

26 Juli 2011   12:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:21 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kriuk ... kriuk ... kriuk ... mengiringi langkahku memasuki sebuah resto untuk makan siang yang sangat ... sangat terlambat. Jadi, tak heran lantunan melodi-melodi itu kencang terdengar. “Seperti biasa ... ”, ujarku pada pelayan yang bahkan belum sempat membukakan daftar menu untukku. Dibalasnya dengan senyuman dan “baik ...”, ujarnya.

Lantunan melodi indah pun kian kencang kala menu yang sama di atas meja seberang, selang satu meja dari mejaku dibiarkan begitu saja oleh seseorang yang duduk disana. “Kita bisa bertukar tempat Bung? Anda mungkin tidak benar-benar mengharapkan makanan itu, tapi saya ... iya, perut saya tak lagi bisa diajak kompromi”. Oh, tidak ... tentu kalimat ini hanya kuucapkan dalam hati untuk sekedar mengalihkan sejenak rasa lapar yang tak bisa dibendung lagi. Tapi, sebentar ... ada yang mengalihkan rasa lapar yang tak bisa dibendung ini. “Apa yang terjadi dengannya?”, tanyaku dalam hati sembari menoleh ke arah seseorang di meja seberang tadi. Tapi, segera kualihkan pandanganku ke arah lukisan di dinding sebelah kanan kami saat Ia menoleh ke arahku. Aku tak ingin membuatnya tak nyaman.

Telepon genggamku berdering, sebuah pesan masuk. Pesan dari seorang sahabat yang membagi link sebuah situs untuk mengunduh lagu ciptaannya yang terbaru. Entahlah ... kubalas hanya dengan icon ‘dua jempol’ dan ‘senyum lebar’. Padahal, sahabat yang satu ini pantas beroleh banyak kata pujian untuk karya-karyanya yang lebih dari sekedar indah. “Nanti, jika kita bertemu ... akan kusampaikan pujian yang pantas untukmu”, ujarku dalam hati.

Aku menoleh ke arah kiri. Keju leleh beku kembali ... Ia bahkan tak menyentuh makanan di atas meja itu sama sekali. “Ada banyak tissue di atas meja itu. Butir-butir air mata jelas terlihat membasahi pipinya. Apa yang harus kulakukan?”. Kuputuskan untuk membuka link situs yang dikirimkan sahabatku dan mengunduh lagunya. Setidaknya, ada yang kukerjakan 2 % ... 9 % ... 16 % ... kupandangi angka-angka itu di layar telepon genggamku.

Tissue yang basah oleh air matanya semakin banyak. “Apa yang harus kulakukan?”, tanyaku lagi. Aku ingin melakukan sesuatu untuknya, setidaknya memberi sesuatu yang dapat menghentikan tangisnya. Namun terkadang ... dengan ‘membiarkan’ kita telah ‘memberikan’, dengan ‘tidak melakukan sesuatu’ kita telah ‘melakukan sesuatu’. Maka, kuputuskan untuk membiarkanya dan tidak melakukan apapun.

98 % ... completed ...

Kuletakkan telepon genggamku di atas meja. “Nah, apa yang harus kulakukan? Mendengarkan lagu yang baru saja kuunduh? Tidak mungkin, aku tak membawa headset dan alangkah kejamnya diriku mendengarkan lagu sementara ada yang tengah dirundung duka”. Lagipula, seorang pria menitikkan air mata bukanlah hal yang lumrah di tanah ini. Tanah yang begitu kental nilai-nilai patriarkinya. Aku semakin salah tingkah ... padahal, mungkin Ia tak memperhatikanku sama sekali. Tapi, entahlah ...

Telepon berdering ...

Kuraih telepon genggamku di atas meja yang baru saja hendak kutinggalkan sejenak menuju kamar kecil. Ya ... ‘ke kamar kecil’ yang terpikir olehku setelah tak tahu harus melakukan apa di tengah situasi seperti ini. Ternyata, kami menggunakan nada dering yang sama untuk panggilan masuk.

“Hallo ... ”, ujarnya. Duka yang menyelimuti wajahnya sirna seketika itu juga ... senyum mengembang dibibirnya ... matanya berbinar. Ia tak banyak berkata-kata dan hanya mendengarkan suara seseorang yang menghubunginya itu.

“Baik ...”, ujarnya lantas meletakkan lagi telepon genggamnya di atas meja. Ia mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Menarik nafas lega. “Entahlah ... ini ‘ekspresi paling bahagia’ yang pernah kusaksikan”. Aku bahkan tiba-tiba merasa bahagia juga.

Aku duduk kembali. Siapapun pemiliki suara itu ... entah kekasih, Ibu, Ayah, sahabat, kolega ... siapapun. Apapun yang dikatakannya. Dimanapun Ia berada. Tahukah Ia ... beberapa menit yang lalu, Ia ataupun sesuatu yang dikatakannya menjadi hal paling berarti bagi seorang dari bermilyar-milyar manusia di muka bumi ini? Pemilik segenap hati dan pikir seorang manusia yang tak lagi bisa merasakan dan memikirkan hal lain, selain kesedihan dan harapan. Bahkan keberadaanku ... yang mungkin dalam situasi yang berbeda dapat membuatnya tertunduk malu karena menjadi satu dari sedikit pria yang menitikkan air mata di tanah ini.

Entahlah ... pemilik suara itu mungkin sama sekali tak menyadari betapa berartinya dia. Jika tahun-tahun menjalani hidup diubah ke dalam detik dan menit, maka mungkin ... detik, menit yang lalu atau bahkan saat ini hidup seseorang begitu menentukan hidup yang lain. Apa yang dilakukan seseorang saat ini menentukan apa yang dilakukan yang lain. Apa yang dirasakan seseorang saat ini menentukan apa yang dirasakan yang lain. Manusia dan segala yang menghuni bumi ini seperti barisan kartu domino. Gerak satu kartu menentukan gerak kartu yang lain ...

Matahari menyinari ...  mengikuti perputaran bumi pada porosnya ...

Maka, tak ada yang sia-sia bukan? Apapun ... siapapun yang tersua lalu pergi dalam perjalanan hidup seorang manusia sejak lahir hingga matinya, entah menjadi kerikil, bukit yang harus didaki, lembah, arus deras yang menghempas, yang mengulurkan tangan, yang meninggalkan, yang mengasihi sepenuh hati, yang membenci, yang mencela, yang memuja atau bahkan yang hanya sekedar berpapasan ... apapun ... siapapun ... siapapun mereka, adalah tatah yang mengukir ‘wujud’ kita yang tertemukan usai pencarian panjang di penghujung nanti. Meski mungkin ... kita tak kan bisa memerinci apa dan siapa saja yang telah tersua dalam perjalanan ini, hingga akhirnya kita dapat berkata,

“Inilah diriku ... ”

“Entahlah ... usai ini, kita mungkin tak kan pernah bersua kembali. Tapi telah kucatat arti hadirmu dalam perjalananku ... terima kasih, setidaknya ... ‘terima kasih’ telah mengalihkan rasa laparku sejenak untuk menginsyafi hal ini”, ujarku.

Ia mengambil beberapa lembar tissue lagi. Tapi, tidak untuk mengusap butir-butir air matanya. Keju leleh yang beku kembali ... selesai dilahapnya ...

“Oh, tidak. Dimana tombol ‘volumenya’? lantunan melodi kriuk ... kriuk ... ini kian kencang”

-Fristian Shamsapeel Griec-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun