Kriuk ... kriuk ... kriuk ... mengiringi langkahku memasuki sebuah resto untuk makan siang yang sangat ... sangat terlambat. Jadi, tak heran lantunan melodi-melodi itu kencang terdengar. “Seperti biasa ... ”, ujarku pada pelayan yang bahkan belum sempat membukakan daftar menu untukku. Dibalasnya dengan senyuman dan “baik ...”, ujarnya.
Lantunan melodi indah pun kian kencang kala menu yang sama di atas meja seberang, selang satu meja dari mejaku dibiarkan begitu saja oleh seseorang yang duduk disana. “Kita bisa bertukar tempat Bung? Anda mungkin tidak benar-benar mengharapkan makanan itu, tapi saya ... iya, perut saya tak lagi bisa diajak kompromi”. Oh, tidak ... tentu kalimat ini hanya kuucapkan dalam hati untuk sekedar mengalihkan sejenak rasa lapar yang tak bisa dibendung lagi. Tapi, sebentar ... ada yang mengalihkan rasa lapar yang tak bisa dibendung ini. “Apa yang terjadi dengannya?”, tanyaku dalam hati sembari menoleh ke arah seseorang di meja seberang tadi. Tapi, segera kualihkan pandanganku ke arah lukisan di dinding sebelah kanan kami saat Ia menoleh ke arahku. Aku tak ingin membuatnya tak nyaman.
Telepon genggamku berdering, sebuah pesan masuk. Pesan dari seorang sahabat yang membagi link sebuah situs untuk mengunduh lagu ciptaannya yang terbaru. Entahlah ... kubalas hanya dengan icon ‘dua jempol’ dan ‘senyum lebar’. Padahal, sahabat yang satu ini pantas beroleh banyak kata pujian untuk karya-karyanya yang lebih dari sekedar indah. “Nanti, jika kita bertemu ... akan kusampaikan pujian yang pantas untukmu”, ujarku dalam hati.
Aku menoleh ke arah kiri. Keju leleh beku kembali ... Ia bahkan tak menyentuh makanan di atas meja itu sama sekali. “Ada banyak tissue di atas meja itu. Butir-butir air mata jelas terlihat membasahi pipinya. Apa yang harus kulakukan?”. Kuputuskan untuk membuka link situs yang dikirimkan sahabatku dan mengunduh lagunya. Setidaknya, ada yang kukerjakan 2 % ... 9 % ... 16 % ... kupandangi angka-angka itu di layar telepon genggamku.
Tissue yang basah oleh air matanya semakin banyak. “Apa yang harus kulakukan?”, tanyaku lagi. Aku ingin melakukan sesuatu untuknya, setidaknya memberi sesuatu yang dapat menghentikan tangisnya. Namun terkadang ... dengan ‘membiarkan’ kita telah ‘memberikan’, dengan ‘tidak melakukan sesuatu’ kita telah ‘melakukan sesuatu’. Maka, kuputuskan untuk membiarkanya dan tidak melakukan apapun.
98 % ... completed ...
Kuletakkan telepon genggamku di atas meja. “Nah, apa yang harus kulakukan? Mendengarkan lagu yang baru saja kuunduh? Tidak mungkin, aku tak membawa headset dan alangkah kejamnya diriku mendengarkan lagu sementara ada yang tengah dirundung duka”. Lagipula, seorang pria menitikkan air mata bukanlah hal yang lumrah di tanah ini. Tanah yang begitu kental nilai-nilai patriarkinya. Aku semakin salah tingkah ... padahal, mungkin Ia tak memperhatikanku sama sekali. Tapi, entahlah ...
Telepon berdering ...
Kuraih telepon genggamku di atas meja yang baru saja hendak kutinggalkan sejenak menuju kamar kecil. Ya ... ‘ke kamar kecil’ yang terpikir olehku setelah tak tahu harus melakukan apa di tengah situasi seperti ini. Ternyata, kami menggunakan nada dering yang sama untuk panggilan masuk.
“Hallo ... ”, ujarnya. Duka yang menyelimuti wajahnya sirna seketika itu juga ... senyum mengembang dibibirnya ... matanya berbinar. Ia tak banyak berkata-kata dan hanya mendengarkan suara seseorang yang menghubunginya itu.
“Baik ...”, ujarnya lantas meletakkan lagi telepon genggamnya di atas meja. Ia mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Menarik nafas lega. “Entahlah ... ini ‘ekspresi paling bahagia’ yang pernah kusaksikan”. Aku bahkan tiba-tiba merasa bahagia juga.