Istilah post-humanism mungkin akan cocok dengan film The Wild Robot. Film yang baru dirilis pada tanggal 11 Oktober 2024 ini seakan mengajak kita, para penontonnya untuk merefleksikan ulang identitas kemanusiaan yang melekat pada kata manusia.
Â
Apa yang terlintas ketika kita berbicara tentang kemanusiaan? Apakah kebaikan? Keramahan? Kesabaran? Kemanusiaan/humanisme sejatinya berbicara mengenai kemampuan manusia untuk mengakarkan kembali hidupnya di dunia ini, lepas dari alienasi melalui obsesi terhadap dunia-sana (Hardiman, 2020).
Â
Meskipun istilah humanisme itu memiliki sejarah kelamnya sendiri, mulai dari humanisme ateistis, hingga humanisme yang bahkan bertentangan dengan nilai-nilai beradab yang selama ini diyakini oleh manusia (Hardiman, 2020).
Â
Namun setidaknya, humanisme bisa kita sepakati sebagai upaya manusia untuk berbuat selayaknya manusia yang memanusiakan manusia lain tanpa intensi akan dunia yang transenden.
Masalahnya, batas-batas memanusiakan manusia lain di sini seringkali menjadi sesuatu yang kabur karena manusia masih memiliki 'ego'. Seperti kata Nietzsche, "ke manapun aku pergi, selalu mengikutiku seekor anjing yang bernama ego" (Nietzsche dalam Hardiman, 2021).
Ego kerap menjadi masalah bagi manusia, namun sekaligus menjadi ciri utama juga bahwa manusia tersebut sejatinya masih hidup sebagai seorang manusia.
Di sinilah letak kompleksitas masalahnya. Manusia memiliki ego yang mencirikan manusia itu hidup, sekaligus yang seringkali memfalsifikasi kemanusiaan yang melekat pada diri manusia tersebut.
Melalui film The Wild Robot, kita diajak untuk melihat lebih jauh, bahwa robot-entitas yang seringkali dipandang sebelah mata oleh manusia, karena diciptakan oleh manusia-ternyata memiliki kemanusiaan yang melebihi semangat humanisme yang selama ini masih terbentur dengan ego.
Roz (tokoh fiksi dalam film The Wild Robot), menunjukkan perilaku altruisme yang sangat lembut layaknya gambaran manusia yang ideal. Saya tidak akan bercerita tentang bagaimana perilaku altruisme itu diwujudkan oleh Roz (silahkan Anda menikmati filmnya terlebih dahulu), namun yang jelas sifat-sifat utopis yang selama ini diidealkan dalam semangat humanisme, muncul dengan indah melalui film The Wild Robot ini.
Kaitannya dengan post-humanism (sebagaimana yang saya sebutkan di awal paragraf) adalah pertanyaan besar ini; 'bagaimana nasib manusia jika kelak di masa depan perkembangan teknologi benar-benar bisa mewujudkan nilai-nilai humanis yang selama ini diagung-agungkan oleh manusia?'
Artinya, apakah manusia kemudian tidak akan lagi ada artinya jika post-humanism ini di masa depan dapat muncul melalui teknologi? Lalu masih pantaskah manusia bertindak secara arogan? Masih pantaskah manusia "menyembah" antroposentrisme?
Tulisan ini tidak akan membahas film The Wild Robot terlalu jauh, karena itu sama saja dengan mengumbar jalan cerita dari film tersebut pada Anda-Anda yang mungkin belum menonton filmnya hingga tulisan ini dibaca.
Pada intinya saya hanya ingin mengajak Anda untuk merefleksikan ulang, benarkah manusia itu berharga? Terutama berharga atas dunia ini? Apa yang masih pantas dibanggakan dari kita, seorang yang mengaku diri sebagai manusia? Jangan-jangan, penghargaan yang berlebihan atas manusia justru pada dasarnya lahir atas sifat arogan dan antroposentris yang terlalu kuat.
Jangan-jangan, kelak teknologi bisa mengolok-olok kita dengan mengatakan "sia-sialah selama ini kamu memperjuangkan kemanusiaan yang hanya dengan waktu yang singkat bisa aku sempurnakan secara ideal".
Salam takzim.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H