Padahal jelas ini sangat tidak adil. Sebagai orang tua, harusnya mereka lah yang terlebih dahulu memahami dan mengerti kondisi ekonominya sebelum mereka benar-benar melahirkan seorang manusia ke dalam dunia ini. Meski, memang fluktuasi kondisi ekonomi dunia setiap harinya berubah dan segala hal itu dinamis.
Tapi setidaknya untuk benar-benar memastikan keluarganya tidak akan hidup miskin, seharusnya sudah diperhitungkan jauh-jauh hari sebelum seorang manusia dilahirkan ke dalam dunia ini.
Jauh sebelum itu terjadi, ada baiknya kita sebagai manusia jujur terlebih dahulu terhadap diri sendiri. Apa sebenarnya yang menuntun kita ke dalam pernikahan? Apakah nafsu, cinta, atau logika?
Angka kemiskinan, terutama jumlah keluarga miskin yang masih ada sampai hari ini (mungkin bertambah) bisa dipastikan merupakan hasil dari perspektif nafsu.
Perspektif cinta, mungkin hasilnya relatif tidak bisa teridentifikasi. Â Karena kedua perspektif lainnya pun tak bisa dipungkiri memiliki rasa cinta, meski dalam bentuk yang berbeda.
Namun yang pasti perspektif cinta akan relatif melepas dan merelakan sesuatu yang dirasa memang harus dilepas dan direlakan. Sesuai pada kodratnya, kasih yang mengasihi atau memberi sebagai sinonimnya. Bukan mencengkram, atau memaksa untuk dimiliki.
Perspektif ini bisa diartikan ke dalam bentuk relasi yang tidak mengharapkan apapun sebagai feedback-nya. Ia akan terus memberi, dan mengasihi meski di titik yang sama ia sedang melepaskan dan merelakan hal tersebut untuk pergi.
Perspektif yang ketiga, adalah perspektif logika. Jika perspektif cinta lebih terkesan pesimistik, maka perspektif logika boleh kita katakan sebagai perspektif yang lebih terkesan realistis.
Perspektif ini akan menimbang-nimbang dan memperhitungkan segala macam kemungkinan yang akan terjadi jika memang manusia tersebut akan menjalani hidup post-married. Bahkan jauh sebelum menikah, ketika seorang pria atau wanita memutuskan untuk menjalani sebuah relasi khusus (banyak orang hari-hari ini menyebutnya dengan istilah spesial).
Perspektif logika akan lebih memperhitungkan dengan terstruktur apa yang mungkin akan ia alami jika menjalin relasi khusus tersebut, atau bahkan menikah. Ia tidak terlalu pesimistis seperti cinta, tapi ia juga tidak terlalu optimistis seperti nafsu.
Ia realistis karena mungkin saja pada awalnya ia tidak melihat kehidupan yang baik bila relasi khusus tersebut dijalani, atau pernikahan tersebut dihidupi. Namun, setelah melakukan berbagai macam perhitungan dan pertimbangan dengan upaya-upaya yang tentu digunakan agar hidup yang layak tersebut niscaya, sangatlah mungkin perspektif logika ini mengambil kesempatan tersebut.