Mohon tunggu...
Fristian Setiawan
Fristian Setiawan Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Sapere aude

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Memandang Terminologi "Protokol Kesehatan" Dari Dua Sudut Pandang

11 Februari 2021   20:23 Diperbarui: 13 Februari 2021   00:32 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih tentang stoikisme, namun kali ini kita akan melihat dari sudut pandang yang sedikit lebih luas dari pembahasan sebelumnya. Sejak munculnya terminologi protokol kesehatan, saya sudah dibuat agak resah karena merasa ada sesuatu yang janggal dalam terminologi tersebut. Entah hal yang serupa dialami oleh orang lain atau tidak, namun puncak keresahan saya terjadi kurang lebih sekitar 4-5 bulan yang lalu, sejak saya sadar mengenai sebuah analogi yang cukup menarik yang akan saya jelaskan sebentar lagi.

Untuk memahami analogi yang saya maksud, kita pertama-tama harus memahami dulu tentang ajaran filsafat helenistik yakni stoikisme juga epikureanisme khususnya mengenai "ataraxia", dan "apatheia". Ataraxia disini diartikan sebagai ketenangan, secara harafiah yakni "tanpa masalah". Apatheia sendiri disini diartikan kurang lebih sama dengan ataraxia, yakni kebebasan dari nafsu, atau bisa juga kita interpretasikan sebagai paradigma yang bersikap bodo amat terhadap setiap masalah. Mungkin sebagian dari kita bertanya tanya, bagaimana bisa kita bersikap bodo amat terhadap masalah? Atau, jika kita bersikap bodo amat terhadap masalah, artinya kita tidak bertanggung jawab atas hidup kita sendiri. Bukan, bukan seperti itu. Saya akan mencoba membedah interpretasi saya se sederhana mungkin supaya kita dapat sama-sama memahami apa yang saya maksud mengenai kejanggalan dalam terminologi protokol kesehatan.

Setelah kita memahami secara kasar mengenai terminologi ataraxia dan apatheia juga interpretasi saya atas terminologi tersebut, sekarang akan saya jelaskan apa dan bagaimana maksudnya bersikap bodo amat terhadap masalah. Tentu setiap manusia yang membaca tulisan saya ini dalam hidupnya tidak pernah lepas dari yang namanya masalah, ketika masalah pertama selesai, entah mengapa selalu ada masalah-masalah lain yang sepertinya tidak senang jika melihat setiap dari kita terbebas dari dirinya. Lalu sekarang pertanyaannya, jika kita sudah sadar bahwa hidup ini tak bisa lepas dari yang namanya masalah, apakah dengan kita berusaha mati-mati an agar terhindar dari sebuah masalah merupakan hal yang logis? 

Jika masih belum paham, saya akan beri contoh lain. Hidup manusia setiap hari, bulan, dan tahunnya selalu dipenuhi dengan masalah, contoh paling sederhananya saja masalah tentang "besok makan sama apa ya", atau "besok ke kantor naik angkutan umum atau kendaraan pribadi ya", atau mungkin masalah yang lebih serius seperti "bagaimana cara menjaga kerukunan dalam keluarga saya, rasanya tidak bisa jika dalam satu bulan tidak terjadi pertengkaran diantara kami berdua", atau jika kita ingin tingkatkan lagi ke tingkat masalah yang lebih kompleks, seperti "bagaimana cara meminimalisir tindak korupsi di Indonesia". Bukankah itu semua merupakan masalah-masalah yang mungkin pernah menimpa hidup kita selama ini. Lantas, jika kita sudah memahami bahwa kita hidup kita selalu dipenuhi dengan masalah, bagaimana caranya kita bisa terhindar dari satu masalah yang mungkin menurut kita sangat berbahaya dan berpotensi tinggi merusak kehidupan kita apabila kita terkena masalah tersebut? 

Ya, benar, masalah yang saya maksud adalah virus corona. Mungkin sebagian besar dari Anda yang menyimak tulisan saya juga berpikiran serupa. Yakni apabila corona menginfeksi tubuh kita, dikhawatirkan kita akan mengalami sesak nafas, atau bahkan sulit bernafas, batuk-batuk, bahkan kematian. Satu kata dari saya atas paranoid seperti ini, "berlebihan". Memiliki rasa khawatir itu wajar dan bahkan harus, namun melebih-lebihkan kekhawatiran itu sendiri merupakan sebuah tindakan yang sia-sia. 

Saya mencoba memahami mengapa terminologi protokol kesehatan dapat tercipta. Mungkin salah satunya karena Pemerintah kita tidak ingin para Tenaga Kesehatan yang ada kelelahan, resiko terburuknya adalah mereka semua tak dapat lagi menangani lonjakan pasien covid-19 yang terus menerus meningkat. Namun yang saya permasalahkan adalah mengapa antara terminologi dengan substansinya itu tidak relevan. Apakah dengan hanya memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan maka hidup manusia yang disiplin menjalani hal tersebut akan serta merta sehat dan kebal terhadap segala macam infeksi bakteri maupun virus? Saya tidak menemukan tingkat relevansi yang kuat dalam korelasi antara terminologi protokol kesehatan dengan substansinya itu sendiri.

Lalu seperti yang sudah tadi saya cantumkan diawal, bahwa kita akan melihat kasus ini dengan sudut pandang yang sedikit lebih luas dari pembahasan sebelumnya. Begini, saya asumsikan kita semua sudah paham mengenai analogi yang saya maksud tentang corona dan masalah dalam kehidupan manusia. Sekarang pertanyaannya, apabila suatu saat kelak ditemukan sebuah bakteri baru yang jauh lebih ganas dari corona, lantas apa yang akan kita lakukan? Berusaha menghindari bakteri tersebut dengan 1001 cara? Atau memperkuat sistem daya tahan tubuh kita agar lebih tahan ketika menerima infeksi bakteri maupun virus-virus. Analoginya sama seperti ini, ketika kita pusing karena ditolak oleh 10 perusahaan yang sudah kita lamar, yang baik untuk kita lakukan itu mendaftar kembali ke perusahaan lain TANPA MELAKUKAN INTROSPEKSI DIRI, atau beristirahat sejenak seraya berintrospeksi atas diri kita sendiri, apa saja yang salah sehingga kita sampai 10 kali ditolak oleh perusahaan yang sudah kita lamar, lalu kemudian memperbaikinya dan baru kita melamar perusahaan lain atau juga dapat mencari teman untuk membuka sebuah bisnis baru? Orang yang ingin terhindar dari covid namun tidak memperhatikan KESEHATAN SEJATI dalam hidupnya sama seperti analogi yang pertama, yang terus menerus ingin diterima oleh perusahaan namun tidak pernah berintrospeksi atas dirinya sendiri, yang notabene hal tersebut merupakan hal yang berada didalam kendali dirinya. Lalu orang yang "apatis" terhadap keganasan covid dan justru berpikir mengenai kesehatan tubuhnya sendiri daripada sibuk mencegah covid dianalogikan dalam analogi kedua.

Poin saya disini adalah, mari kita belajar untuk memandang sebuah permasalahan menggunakan berbagai sudut pandang, jangan termakan oleh ganasnya informasi yang dapat menenggelamkan kita dari cara berpikir yang jernih. Dan juga cobalah untuk mengaitkan satu permasalahan dengan permasalahan yang lain, agar kita selalu diingatkan bahwa hidup ini tak akan pernah lepas dari yang namanya masalah. Namun masalahnya, yang akan kita lakukan kelak itu berusaha sekuat tenaga untuk mencegah masalah tersebut datang pada kita atau justru yang kita lakukan adalah meningkatkan pola pikir kita supaya kapanpun masalah menghampiri hidup kita, kita akan selalu memiliki solusi untuk menghadapinya. Pilihan ada di tangan kita semua, oleh karenanya bijaklah dalam memilih. Sapere aude.

Sumber: 

Massimo. (2015). Apatheia Vs Ataraxia what's the difference? Retrieved February, 11, 2021, from https://howtobeastoic.wordpress.com/2015/12/26/apatheia-vs-ataraxia-whats-the-difference/ 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun