Dalam artikel ini, akan dikupas sebagian point dari jurnal internasional "The Preponderance of International Courts in the Conflict of Treaty Law and Customary International Law"
 -The Characterization of State Practice
Membahas kompleksitas pendefinisian praktik negara dalam konteks hukum kebiasaan internasional. Bagian ini menyajikan dua interpretasi: satu memandang praktik negara sebagai tindakan dan kelalaian negara yang tidak memihak dalam urusan internasional, sementara yang lain melihatnya sebagai tindakan atau deklarasi yang opininya tentang hukum kebiasaan internasional. Perspektif terakhir menekankan bahwa praktik negara mencerminkan persyaratan dan keyakinan suatu negara. Bagian ini juga merujuk pada pernyataan Mahkamah Internasional dalam kasus Nikaragua, yang menyoroti bahwa perilaku negara yang tidak konsisten harus dipandang sebagai pelanggaran norma, bukan bukti adanya aturan baru yang diadopsi.
-Treaties
Badan-badan dan negara-negara internasional dapat mencapai kesepakatan mengenai suatu perjanjian internasional. Dengan menggunakan terminologi yang lebih tepat, perjanjian lebih berfungsi sebagai dasar kewajiban yang ditetapkan oleh hukum. Perjanjian hanya mengikat secara hukum bagi negara-negara yang mendaftar untuk menjadi pihak dalam perjanjian tersebut. Pacta Sunt Servanda merupakan asas hukum adat internasional yang menyatakan bahwa pemerintah yang menjadi pihak dalam suatu perjanjian wajib menegakkan legalitasnya. Banyak perjanjian juga penting sebagai deklarasi resmi hukum adat secara bersamaan. Penyusunan perjanjian antara beberapa pemerintah sering disebut "writing down" dengan standar hukum adat yang sebelumnya tidak tertulis seperti Vienna Convention on the Law of Treaties(Wehberg, 1959).
-Conclusion
Keputusan hukum internasional menunjukkan bahwa hukum kebiasaan internasional baru tidak dapat menggantikan kewajiban perjanjian internasional yang sudah ada. Walaupun perilaku selanjutnya dari peserta perjanjian dapat memengaruhi penafsiran dan bahkan isi perjanjian tersebut, hanya praktik antara para pihak perjanjian yang dapat mengubah ketentuan perjanjian. Sebaliknya, kebiasaan internasional baru dapat muncul dari tindakan atau deklarasi negara atau organisasi yang tidak terikat dalam perjanjian. Selain itu, perjanjian biasanya dianggap lebih unggul daripada hukum kebiasaan internasional sebelumnya, meskipun otoritas berbeda mungkin mengakui faktor lain seperti kekhususan perjanjian atau ratifikasi di masa depan dalam menentukan supremasi perjanjian.
-Recommendation
1.Ketika terjadi perselisihan antara dua standar hukum internasional yang berbeda, konsep lex specialis menyatakan bahwa norma yang lebih spesifik atau terspesialisasi lebih diutamakan daripada norma umum.
2.Para pihak dalam suatu perjanjian wajib memenuhi tanggung jawab hukum mereka sebagai akibat dari sifat mengikat perjanjian tersebut dan fakta bahwa perjanjian tersebut dibuat dengan sukarela oleh pemerintah yang terlibat.
3.Pentingnya mengingat bahwa aturan dasar mungkin memiliki beberapa ruang gerak di dalamnya untuk keadaan tertentu seperti aturan hukum kebiasaan internasional yang telah diberi status jus cogens.
4.Asas lex specialis menyatakan apabila terjadi pertentangan antara hukum adat internasional dan hukum yang ditetapkan oleh suatu perjanjian, unsur-unsurnya dalam perjanjian yang dianggap lebih khusus akan didahulukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H