Mohon tunggu...
Friska Siallagan
Friska Siallagan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Sedang Dalam Pengembangan Potensi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Diamnya Pemimpinku

12 Mei 2012   20:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:23 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Akhirnya tiba saatnya sang Leader menjemput hari-hari terakhirnya di tempat itu. Satu bulan lagi dia akan mengucapkan selamat tinggal pada area kerjanya. Pada saat itu dia merasa ketakutan bagaimana dia akan meninggalkan anggotanya pada leader baru. Anggotanya yang sudah sangat amburadul dan tidak pernah menaati peraturan lagi. Apa kata sang leader baru, tentu leader baru akan menganggap kerjanya selama ini tidak becus. Sang Leader kemudian berubah menjadi keras. Dia mulai menghapus semua bentuk kompromi. Anggota-anggotanya pun juga semakin mengata-ngatainya di belakang. Semua memperhatikan kalau-kalau sang leader melakukan kesalahan agar mereka menemukan hal yang baru untuk dibicarakan. Suara sengau “I’m shock!” terdengar ditirukan para anggotanya, yang terceletuk di sana sini. Sang leader lagi-lagi hanya mampu diam dan mengeraskan rahangnya menahan emosi dan tangis. Semua anggotanya tidak ada lagi yang mau mengajaknya mengobrol. Termasuk aku salah satunya. Aku pernah meminta ijin untuk masuk jam berikutnya karena aku ada jadwal ujian di kampus. Aku mengirim sms dan balasannya hanya kata “enggak!”. Karena itu aku harus membayar biaya ujian susulan, dan juga absen dari pekerjaan karena harus mengikuti ujian susulan yang diadakan di jam kerja. Padahal setiap absen, kita diharuskan menemui sang supervisor untuk dimarah-marahi dan diberi kata-kata merendahkan seperti, “Kamu itu pemalas!”, “Kamu banyak alasan!”, “Aku tidak peduli kegiatanmu di luar!” Ya, ya, ya, peraturan no.1 di tempat kerja: “Atasan selalu benar.”

Entahlah, bagaimana caranya menjadi seorang pemimpin yang baik dan juga disegani. Aku tidak pernah ingin menjadi seorang pemimpin. Aku adalah seorang plegmatis, yang santai dan tidak ingin memiliki musuh satupun. Mustahil aku bisa menjadi seorang pemimpin yang harus bisa menahan semua gejolak makan hati di dada. Kini sang leader hanya mampu menjalani hari-hari terakhirnya dengan kebencian para anggotanya. Tidak ada lagi yang mau menyapanya lagi, termasuk aku. Dia hanya mampu terdiam dan baru bisa bicara saat waktu briefing datang. Aku tidak terlalu memusingkan, hanya saja saat aku sedang asyik bekerja dan aku menoleh ke arah meja kerja, dia sedang mempelototiku. Entah apa yang sedang dipikirkannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun