Saya bukanlah pengagum SBY, bukan pula pendukung setia SBY. Meski saya pernah menjadi team pemantau Pemilu Presiden 2004 di kubu SBY-JK, simpati saya terhadap SBY jauh menurun, terlebih dengan issue skandal bank Century yang sangat kental menimpa kubu Demokrat dan keluarga SBY.
Simpati saya juga tidak bertambah, walau saat ini saya memiliki hubungan yang dekat dengan salah satu mantan Menteri dan mantan Petinggi Partai Demokrat yang sangat loyal terhadap SBY. Setiap kali bertemu dengan Mantan menteri ini, setiap kali pula cerita dan ungkapan kekaguman kepada SBY diperdengarkan, yang tetap tidak menggugah, dan saya tetap tak bergeming.
Tetapi dalam sekejap, pandangan saya terhadap SBY sedikit lunak, dan mucul kekaguman terhadap pola pikirnya, meski belum merubah seluruh pandangan saya. Tadi malam, poros Cikeas yang terdiri dari Partai Demokrat, PPP, PKB dan PAN mengajukan calon Gubernur dan wakil Gubernur DKI yang akan bertarung dalam PILKADA Februari mendatang, yaitu Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni.
Di sebuah televisi berita pagi ini, seorang pengamat politik mengatakan, Poros Cikeas dan SBY mengajukan seorang Perwira Menengah berpangkat Mayor Infantri untuk diusung menjadi calon Gubernur DKI adalah sebuah pertaruhan yang sangat berani, mengingat pendahulu-pendahulu sebelumnya rata-rata seorang perwira Tinggi. Tjokropranolo, Soeryadi Soedirdja dan Sutiyoso adalah gubernur-gubernur berasal dari perwira tinggi militer yang pernah memimpin Jakarta.
Munculnya nama Agus Harimurti Yudhoyono, adalah hasil rapat pimpinan-pimpinan partai yang tergabung dalam poros Cikeas. Sebuah bentukan koalisi yang pecah dari koalisi kekeluargaan yang pernah dibentuk beberapa waktu lalu. Entah karena diputuskan di rumah kediaman pribadi SBY di Cikeas, atau karena setidaknya hanya Partai Demokrat dan PPP yang memiliki kursi setara yaitu 10 kursi dibanding PKB dan PAN yang hanya 6 dan 2 kursi, koalisi ini disebut Poros Cikeas. Mungkin pula untuk menghormati tuan rumah dan mantan Presiden yang kini menjadi ketum Partai Demokrat, koalisi ini mencomot nama Cikeas sebagai jualannya.
Idhul Adha, antara Abraham- Ismail, dan SBY - Agus Harimurti.
Saya melihat sebuah momentum yang berkaitan dengan Idhul Adha diambil secara cerdik oleh SBY dalam memainkan peranannya di kancah politik di PILKADA DKI 2017. SBY berani mengambil resiko sebagai partai penyeimbang dengan mengambil jalan tengah karena melihat begitu panasnya persaingan antara kubu petahana yang sebelumnya adalah kader Gerindra (kini non partisan) dengan kubu Gerindra dan sekutunya. SBY dan Partai Demokrat tidak ingin terlibat dalam kancah persaingan head to head antara Ahok dan Gerindra. Apalagi kini Ahok secara terang-terangan didukung oleh PDIP, partai pemenang pemilu dan partai yang memiliki kursi terbanyak di DPRD DKI. Ditambah Golkar, Nasdem dan Hanura, partai pendukung Ahok menguasai 52 kursi di DPRD, setara dengan 49% dari komposisi seluruh kursi yang ada di DPRD.
Mengapa Poros Cikeas tidak berani memunculkan Edi Baskoro- Ibas- Yudhoyono sebagai Calon Gubernur tapi lebih memilih Agus Harimurti? Ibas adalah kader Partai Demokrat yang pernah mendulang perolehan suara terbanyak saat menjadi anggota DPR lalu. Sedang Agus Harimurti bukan seorang politisi, bukan pula kader partai. Agus mungkin dikenal hanya karena ada nama Yudhoyono yang menempel di belakangnya. Atau kepopulerannya bisa jadi sebatas digosipkan dari mulut ke mulut di kalangan Ibu-ibu karena memiliki isteri yang cantik sekaligus artis. Selain itu tidak ada yang lebih mengenalnya, bahkan di kalangan TNI mungkin belum dilirik sebagai pemimpin, meski kini meniti karir di KOPASUS, satuan elite TNI AD.
Bukan SBY jika tidak memiliki visi ke depan bagi Indonesia. Jika melihat peruntungan untuk mendapatkan kursi DKI1, tentu pengajuan Agus Harimurti adalah misi bunuh diri. Tetapi jika melihat keputusan ini didasarkan pada makin meruncingnya konstelasi politik yang berakibat pada terpecahnya kesatuan bangsa, langkah SBY adalah langkah yang sangat mulia.
Abraham berani mengorbankan anaknya Ismail untuk mendapatkan kemuliaan Allah, kini SBY berani mengorbankan Agus harimurti untuk menyelamatkan Indonesia dari kehancuran dan perpecahan. PILKADA DKI yang jika hanya akan diikuti oleh 2 pasangan calon, akan membawa perpecahan jilid 2 sebagaimana Pilpres 2014 lalu. Jika hanya ada Petahana melawan pasangan yang diajukan Gerindra, maka pertarungan akan terjadi secara frontal. Belum lagi munculnya kelompok-kelompok garis keras berbasis agama yang tidak malu-malu memelesetkan isu SARA dengan prinsip akidah. Negative dan Black campaign sudah jelas akan menjadi sajian hari-hari mendatang yang akan menjadi makanan empuk para predator. Pertarungan yang akan membawa kehancuran dan perpecahan bangsa ini tentu akan dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh para predator ini.
SBY secara berani memunculkan seorang kader militer yang memiliki prospek cerah untuk menjadi penawar ketegangan di PILKADA 2017. SBY mencoba menerapkan ajaran Abraham untuk kepentingan nasional dengan pertimbangan seorang negarawan, bukan semata ketua umum partai. Jika sekadar menghitung hasil, popularitas SBY dan Partai Demokrat yang semakin menurun jelas bukan suatu jaminan untuk memenangkan pertarungan di DKI1. Tetapi menyelamatkan Indonesia jauh lebih penting daripada sekadar mengadu nasib di PILKADA DKI.