Pilkada DKI akan berlangsung tahun 2017, tetapi sejak 16 Juni 2015 lalu, kaum relawan yang tergabung dalam TEMAN AHOK sudah mencanangkan untuk mengusung agar AHOK maju kembali menjadi Gubernur DKI. Meski bukan sekumpulan relawan yang pertama yang mengusung seseorang menduduki jabatan di pemerintahan karena sebelumnya sudah pernah ada, BARA JP (Barisan Relawan Jokowi Presiden) dalam pilpres 2014 yang aktif mendukung kampanye Jokowi.
Barisan relawan TEMAN AHOK memang sangat fenomenal dalam mengusung AHOK jadi Gubernur DKI ke dua kalinya. Dibentuk dan didirikan oleh sekumpulan anak muda –usia 25 tahun rata-rata- dan dipimpin oleh seorang perempuan, Amalia Ayuningtias, mahasiswi Informatika UnPam. Bersama 4 rekannya, mereka melakukan terobosan menggalang dukungan langsung masyarakat Jakarta untuk menjadikan AHOK Gubernur lagi dengan cara mengumpulkan dukungan KTP sebagai syarat awal untuk maju sebagai calon gubernur. Mereka bergerilya mendirikan posko, booth dan berbagai cara menggalang dukungan langsung masyarakat, meski AHOK belum mendeklarasikan dan juga belum menentukan dengan siapa ia akan berpasangan.
Langkah Barisan TEMAN AHOK tentu saja menohok para elite partai politik. Partai Politik yang biasanya menjadi pintu masuk dan kendaraan politik untuk meraih kursi di pemerintahan kini terseok-seok dalam menghadapi terobosan dan langkah mereka. Bagaimana tidak, prosedur dan tata cara yang biasa berlaku di partai politik diterjang dan diluluhlantakkan. Partai Politik yang pada umumnya menyerap aspirasi dengan melakukan penjaringan, penyaringan, baru kemudian menetapkan seseorang layak untuk jadi cagub atau cawagub dianggap terlalu kuno dan lamban. Barisan TEMAN AHOK langsung menjustifikasi AHOK adalah calon satu-satunya yang dianggap paling pantas menduduki kursi Gubernur DKI. Barisan TEMAN AHOK menjaring, menyaring dan menetapkan AHOK untuk jadi Gubernur lagi, bahkan ketika partai politik belum siap mengambil ancang-ancang.
Hak prerogratif para Elite Partai Politik dalam mencalonkan pemimpin pemerintahan pusat dan daerah diamputasi tanpa ampun. Bahkan barisan TEMAN AHOK berani memaksa partai politik untuk ikut dalam barisan mereka. Take it or Leave it, barangkali itulah slogan yang ditawarkan, karena dengan atau tanpa dukungan partai politik, barisan TEMAN AHOK akan tetap berjalan. Para Elite politik menjadi jengah, gagap dan marah, karena mereka kini tidak lagi dianggap menjadi pintu masuk dan kendaraan politik.
Alasan mekanisme partai sebagai landasan dalam menentukan calon dianggap sudah basi. Bukan rahasia jika yang menentukan calon-calon yang akan maju, walikota, bupati, gubernur bahkan presiden adalah ketua partai politik. Masih ingat “petugas partai”? Bahkan saat ini muncul wacana calon presiden 2019 Partai Demokrat adalah Ibu Ani Yudhoyono, isteri mantan presiden Yudhoyono yang tetap menjabat sebagai ketua umum. Para Ketua Partai bertindak layaknya melebihi kepala negara yang memiliki kekuasaan tidak terbatas dalam menentukan siapa pemimpin di negeri ini.
Proses penjaringan, penyaringan dan penetapan yang dilakukan partai politik besar seperti PDIP atau Gerindra seolah-olah ingin memberikan gambaran kepada masyarakat, partai mereka memiliki banyak orang-orang yang berkualitas untuk diusung sebagai Cagub dan Cawagub. Tetapi sesungguhnya kader yang mereka miliki adalah orang-orang yang pandai berbicara tapi tidak pandai bekerja. Saksikan saja kalau para elite politik di depan kamera televisi, mereka lihai menggunakan kalimat berbusa-busa, dengan bahasa yang rumit dipahami masyarakat. Kenyataannya partai politik seperti PDIP dan Gerindra kehabisan stock kader yang mumpuni, PDIP lagi-lagi menyodorkan nama Ganjar Pranowo dan Tri Risma sebagai cagub DKI, meski mereka kini masih mengemban tugas di daerahnya masing-masing.
Proses penjaringan kandidat Partai Gerindra juga tidak seluruhnya memajukan kader-kadernya. Banyak nama yang muncul, tetapi calon kuat lagi-lagi bukan dari kalangan kader Gerindra sendiri. Gerindra bahkan sudah siap-siap mengibarkan bendera putih setelah Ridwan Kamil menyatakan tidak ikut berpartisipasi. Meski ada calon-calon lain seperti Yusril Ihza Mahendra, tetapi sejatinya mereka bukanlah kader partai Gerindra. Calon terkuat, Sandiaga Uno masih belum bisa diukur elektabilitas dan kapasitasnya kalaupun tidak bisa disebut penggembira.
Meski demikian para elite politik masih punya kesempatan tetap dalam zona nyaman mereka. Biarpun tidak bisa mengusung kandidat terkuat dan siap-siap kalah dalam PILKADA DKI mendatang, partai politik masih bisa duduk nyaman di DPRD sebagai mitra Gubernur, karena sebagai pilar demokrasi, institusi mereka tidak mungkin dilikuidasi dan diamputasi. Mereka masih bisa menganggap diri mereka sejajar dengan Gubernur dan punya hak untuk mengawasi kinerja Gubernur.
Gerakan TEMAN AHOK barangkali bisa saja menjadi bola salju yang memicu deparpolisasi. Peringatan deparpolisasi sebenarnya tidak layak dialamatkan kepada individu yang memilih jalur perseorangan seperti AHOK. Deparpolisasi seharusnya menjadi cermin bagi partai politik, agar tidak selalu lebih mengedepankan pandai berbicara daripada bekerja, yang lebih mementingkan keputusan elite dan ketua partai daripada aspirasi rakyat.
Lewat TEMAN AHOK seolah menyadarkan kepada partai politik dan elitenya, saatnya bangun dari tidur panjang, dan move on dari zona nyaman mereka. Bukan tidak mungkin deparpolisasi akan terwujud ketika rakyat lebih antusias memilih eksekutif dan mogok memilih legislator, sehingga gedung DPR/MPR akan menjadi rumah hantu dan kosong melompong, karena tidak ada penghuninya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H