Ebith Lonek, CMF
(Mahasiswa Fakultas Filsafat UNWIRA Kupang)
NTT dan demokrasi menjadi trending topik di tahun ini. Terlepas tahun 2018 adalah tahun politik. Tahun 2018 juga menjadi ajang dimana masyarakat NTT menggandeng sejuta angan-angan dalam sebuah pre-prediksi akan hasil demokrasi yang akan berlangsung.
Dengan ditetapkannya nomor urut paslon dan mendengar hasil pilgub NTT maka semakin jelaslah bahwa percaturan politik NTT kian "seru". Hemat penulis masyarakat NTT telah dan akan menjadi "voluntir" sebagai pengamat politik yang siap menilai kredibilitas dan elektabilitas gubernur dan wakil gubernur yang terpilih.
Keseruan percaturan politik itu bukan soal perhitungan suara hasil pemilu. Bercermin pada realita bahwa penghitungan suara itu menjadi klimaks dari perjalanan demokrasi. Namun yang menjadi perhatian penulis maupun publik adalah masa kampanye(janji-janji, skill rektorika). Hemat penulis kampanye adalah saat dimana setiap paslon mengasah skill rektorikanya dengan pemaparan visi-misinya yang pengaktualisasiannya menjadi tanda tanya besar dalam logika masyarakat.
Masyarakat NTT sebenarnya berada dalam sebuah siklus-dilematis politik. Para paslon menggunakan metode blusukan dadakan. Menerobos lorong-lorong kemiskinan, mendengarkan keluhan rakyat kecil, seperti sebuah dongeng sebelum tidur yang dibacakan, rela basah kuyup hanya ingin meminta sebuah tanda centang pada nomor urut. Mereka hadir seolah-olah menjadi hero dikala rakyat dalam keadaan dilema akan hidup ini.Â
Masyarakat NTT menjadi saksi atas realita bertuan ini. Mereka yang lemah dalam analisa merasa disentuh dengan politik blusukan. Seolah-olah paslon inilah yang menjadi wakil dewi fortuna, dewi keberuntungan dalam mitos Yunani.
Namun masyarakat bingung dengan sederet pertanyaan yang menyesak dalam logika mereka. Mana yang baik (bebas KKN)? Mana yang pro rakyat? Saat kampanye semuanya seiya-sekata sambil bergandengan tangan memekikan dentuman klasik forma kampanye kami "ada untuk rakyat". Namun ketika menjadi nahkoda, dentuman forma itu seketika berubah menjadi "kami ada untuk diri kami dan keluarga kami". Atau dalam bahasa penulis, my family is the first class and the other (poor, needy etc) are the second class, unless I remember them, if not, they are nothing!!
Sedih! Itulah realita politik. Esensi demokrasi dikerdilkan, luka rakyat akibat ulah politkus yang gagal total dalam menerjemahkan makna demokrasi diperparah. Siapa nahkoda yang layak? Ibarat mimpi di siang bolong?
Nakhoda NTT Itu "TRIADIK"
Tahun politik dan demokrasi NTT menjadi semacam realitas mutual (saling berkaitan). Dua realitas ini semacam jembatan bagi masyarakat NTT dalam menikmati perubahan selama lima tahun kedepan. Keduanya menjadi hal yang sensiif di tahun ini.
Demokrasi tidak berjalan sendiri, ia bergandengan bersama tahun politik 2018. Dengan segudang impian dan harapan positif bahwa esensi demokrasi (government by people) menjadi proto-obligations di tahun ini , khusunya bagi nakhoda yang akan terpilih.
Nakhoda NTT adalah sebuah refleksi singkat penulis mengenai realita politik NTT dimana sedikit menyentil pesta demokrasi NTT dalam pemilihan Gubernur (nahkoda). Nahkoda adalah bahasa lain dari gubernur itu sendiri. Dimana sang nakhoda akan menyetir "kapal" NTT yang memiliki kapasitas penumpang yang begitu kompleks dengan persoalan yang juga sangat kompleks.
Masyarakat NTT yang sedang dan akan berada dalam sebuah situasi demam demokrasi sedang mengrekalkulasi elektabilitas dari setiap paslon. Dengan metode apakah kalkulasi tersebut, itu menjadi catatan personal rakyat. Setiap pilihan rakyat itu selalu mengedepankan semangat "luber dan jurdil" (langsung, umum, bersih, jujur dan adil).
Tanggal 27 Juni menjadi klimaks dari perjalanan pesta demokrasi NTT, dimana diadakan pemungutan suara dan perhitungan suara di TPS (Timeks, selasa 6/2 2018). Satu hal yang pasti bahwa mimpi dari masyarakat NTT dalam pesta demokrasi kali ini, yakni mampu melahirkan nakhoda yang selalu menggandeng Salus Populi Supreme Lex (Kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi), bebas KKN yang menjadi penyakit akut-politik di Nusantara dan selalu ada untuk rakyat. Namun penulis mengemas kerinduaan akan keidealan nahkoda itu dengan kata "TRIADIK"
Kata triadik adalah sebuah konsep pemikiran Agustinus (Biarwan,Teolog Katolik) yang ia angkat dalam ulasannya tentang manusia. Baginya persoalan terbesar yang mesti dipikirkan dan dipecahkan filsafat adalah persoalan tentang manusia dan bukan tentang kosmos (dunia). Kedalaman hati manusia, itulah rahasia terbesar yang mesti dipecahkan dalam filsafat (Dr. Paul B. Kleden, Filsafat Abad Pertengahan). Manusia adalah makhluk berjiwa. Manusia adalah substansi tertinggi dalam tataran ciptaan.
Penulis mensejajarkan konsep triadik Agustinus dalam konteks pesta demokrasi NTT. Menurut Agustinus manusia memiliki triadik: berada, mengetahui dan mencintai. Walaupun konteks ini ia sejajarkan dengan konteks Trinitas dalam kamus keberimanan Katolik. Namun penulis merasa bahwa konsep ini seyogyanya mengimplisitkan bahwa Nahkoda NTT hendaknya "triadik". Ia harus "berada" "mengetahui" dan "mencintai"
Berbicara soal politik bukanlah sebuah keputusan sepihak, namun dia melibatkan legitimasi publik yang dalamnya nilai demokrasi berjalan tanpa hambatan akan intervensi "poli-tikus". Pada dasarnya ketiga konsep ini dalam tataran logika kepimpinan memiliki kesinambungan. Ketika ketiganya berjalan seiring maka esensi demokrasi sedang tumbuh dan akan terus bertumbuh.
Pertama, berada. Dalam konteks ini "berada" bukan sebuah konsep pasif namun berada yang aktif dimana seorang nahkoda harus peka akan setiap kebutuhan rakyatnya. Bukannya ia memang "ber-ada" secara fisik namun pikirannya melalang buana mencari 1001 cara untuk mencuri uang rakyat. Berada yang dimaksudkan yakni ia berada baik fisik, hati maupun pikiran untuk rakyat terkhususnya dalam meretas setiap kasus atau persoalan.Â
Kedua mengetahui. Konteks "mengetahui" disini tidak terlepas dari konsep "berada" itu sendiri. Dimana  penulis mengamini bahwa ketika seorang nahkoda itu sungguh-sungguh "berada" artinya secara implisit ia telah "mengetahui" apa yang dibutuhkan rakyat. Jangan hanya ingin mencari hidup tapi berilah rakyat hidup, jangan hanya ingin mencari makan tapi berilah rakyat makan.
Ketiga, mencintai. Leonard seorang ekseget mengatakan bahwa cinta itu hanya bisa digandakan dengan mencintai. Oleh karena itu seorang nahkoda harus mampu menggandakan cinta yang ia miliki kepada rakyatnya dengan mencintai dengan tulus rakyat-rakyatnya bukan karena terselib intensi buruk tapi karena totalitas pelayanan. Sebagai seorang nahkoda NTT yang "triadik".
Hemat penulis ketika ia "berada" bersama rakyat, "mengetahui" apa kebutuhan rakyat maka sampailah ia pada mencintai rakyat dengan berjuang demi rakyat dan berada pada garda terdepan untuk mengusahakan kesejahteraan rakyat.
Bahkan ia rela untuk mencintai sampai tersakiti. Dimana karena spirit pro-rakyat yang ia gandeng sangat berpotensi untuk dibenci oleh para tikus-tikus rakyat yang rakus akan uang rakyat. Bahkan ia merasa tersakiti akibat kebaikannya demi rakyat. Seperti yang dikatakan oleh Malcom X (1925-1965), tokoh Muslim Afrika-Amerika dan juga sebagai pendiri MMI (Muslim Mosque Inc) adalah organisasi keagamaan, persatuan Afrika-Amerika, " Saya tahu masyarakat sering kali membunuh orang-orang yang berusaha mengubah mereka ke arah yang lebih baik. Masyarakat yang di sini bukan rakyat kecil tapi mereka yang memiliki nama dan para pencuri harta rakyat yang merasa "diganggu".
Hemat penulis dengan konsep "triadik" Agustinus ini, menjadi sebuah summa mini bagi kerinduaan masyarakat NTT akan nahkoda yang akan membawa rakyat NTT selama lima tahun. Sekiranya rantai persoalan yang melilit-menghimpit NTT seperti kemiskinan, human trafficking, narkoba, korupsi dan lain sebagainya dapat diretas, dimana nahkoda yang telah terpilih pada 27 Juni mampu membonceng semangat triadik: berada, mengetahui dan mencintai.
Sehingga Stereotip untuk  Orang NTT: miskin, bodoh, terkebelakang, kasar, keras, preman, kuat makan, tak terampil, dsb  atau familiarnya singkatan dari NTT: Nasib Tak Tentu, Nasib Tergantung Tetangga, Nusa Tanah Terbelakang, Nama Tidak Terang, Nasib Tinggalkan Tanahnya sendiri, Nasib Tergantung Tuhan, dapat menjadi NTT: Nusa Tanah Tersubur, Nusa Tanah Termakmur, Nusa Tanah Tersejahtera dan Nusa Tanah Terjanji (berlimpah "susu" dan "madu").
Kini masyarakat NTT tersenyum lebar kala gong demokrasi pemilihan Gubernur telah dikumandangkan dimana bertanda bahwa demokrasi telah usai dan NTT telah menemukan pemimpin yang dihasilkan lewat perhelatan pesta demokrasi beberapa waktu silam. Pertanyannya adalah akankah Viktor-Joss menjadi nahkoda NTT yang triadik?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H