Mohon tunggu...
Isi Respal
Isi Respal Mohon Tunggu... -

Saya orang Respal dari Kaki Gunung Ine Rie pengais rejeki Allah. Kenalilah Dirimu !

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Bias Demokrat dalam Politik NTT

23 Juli 2018   22:58 Diperbarui: 23 Juli 2018   23:16 734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Demokrasi tidak berjalan sendiri, ia bergandengan bersama tahun politik 2018. Dengan segudang impian dan harapan positif bahwa esensi demokrasi (government by people) menjadi proto-obligations di tahun ini , khusunya bagi nakhoda yang akan terpilih.

Nakhoda NTT adalah sebuah refleksi singkat penulis mengenai realita politik NTT dimana sedikit menyentil pesta demokrasi NTT dalam pemilihan Gubernur (nahkoda). Nahkoda adalah bahasa lain dari gubernur itu sendiri. Dimana sang nakhoda akan menyetir "kapal" NTT yang memiliki kapasitas penumpang yang begitu kompleks dengan persoalan yang juga sangat kompleks.

Masyarakat NTT yang sedang dan akan berada dalam sebuah situasi demam demokrasi sedang mengrekalkulasi elektabilitas dari setiap paslon. Dengan metode apakah kalkulasi tersebut, itu menjadi catatan personal rakyat. Setiap pilihan rakyat itu selalu mengedepankan semangat "luber dan jurdil" (langsung, umum, bersih, jujur dan adil).

Tanggal 27 Juni menjadi klimaks dari perjalanan pesta demokrasi NTT, dimana diadakan pemungutan suara dan perhitungan suara di TPS (Timeks, selasa 6/2 2018). Satu hal yang pasti bahwa mimpi dari masyarakat NTT dalam pesta demokrasi kali ini, yakni mampu melahirkan nakhoda yang selalu menggandeng Salus Populi Supreme Lex (Kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi), bebas KKN yang menjadi penyakit akut-politik di Nusantara dan selalu ada untuk rakyat. Namun penulis mengemas kerinduaan akan keidealan nahkoda itu dengan kata "TRIADIK"

Kata triadik adalah sebuah konsep pemikiran Agustinus (Biarwan,Teolog Katolik) yang ia angkat dalam ulasannya tentang manusia. Baginya persoalan terbesar yang mesti dipikirkan dan dipecahkan filsafat adalah persoalan tentang manusia dan bukan tentang kosmos (dunia). Kedalaman hati manusia, itulah rahasia terbesar yang mesti dipecahkan dalam filsafat (Dr. Paul B. Kleden, Filsafat Abad Pertengahan). Manusia adalah makhluk berjiwa. Manusia adalah substansi tertinggi dalam tataran ciptaan.

Penulis mensejajarkan konsep triadik Agustinus dalam konteks pesta demokrasi NTT. Menurut Agustinus manusia memiliki triadik: berada, mengetahui dan mencintai. Walaupun konteks ini ia sejajarkan dengan konteks Trinitas dalam kamus keberimanan Katolik. Namun penulis merasa bahwa konsep ini seyogyanya mengimplisitkan bahwa Nahkoda NTT hendaknya "triadik". Ia harus "berada" "mengetahui" dan "mencintai"

Berbicara soal politik bukanlah sebuah keputusan sepihak, namun dia melibatkan legitimasi publik yang dalamnya nilai demokrasi berjalan tanpa hambatan akan intervensi "poli-tikus". Pada dasarnya ketiga konsep ini dalam tataran logika kepimpinan memiliki kesinambungan. Ketika ketiganya berjalan seiring maka esensi demokrasi sedang tumbuh dan akan terus bertumbuh.

Pertama, berada. Dalam konteks ini "berada" bukan sebuah konsep pasif namun berada yang aktif dimana seorang nahkoda harus peka akan setiap kebutuhan rakyatnya. Bukannya ia memang "ber-ada" secara fisik namun pikirannya melalang buana mencari 1001 cara untuk mencuri uang rakyat. Berada yang dimaksudkan yakni ia berada baik fisik, hati maupun pikiran untuk rakyat terkhususnya dalam meretas setiap kasus atau persoalan. 

Kedua mengetahui. Konteks "mengetahui" disini tidak terlepas dari konsep "berada" itu sendiri. Dimana  penulis mengamini bahwa ketika seorang nahkoda itu sungguh-sungguh "berada" artinya secara implisit ia telah "mengetahui" apa yang dibutuhkan rakyat. Jangan hanya ingin mencari hidup tapi berilah rakyat hidup, jangan hanya ingin mencari makan tapi berilah rakyat makan.

Ketiga, mencintai. Leonard seorang ekseget mengatakan bahwa cinta itu hanya bisa digandakan dengan mencintai. Oleh karena itu seorang nahkoda harus mampu menggandakan cinta yang ia miliki kepada rakyatnya dengan mencintai dengan tulus rakyat-rakyatnya bukan karena terselib intensi buruk tapi karena totalitas pelayanan. Sebagai seorang nahkoda NTT yang "triadik".

Hemat penulis ketika ia "berada" bersama rakyat, "mengetahui" apa kebutuhan rakyat maka sampailah ia pada mencintai rakyat dengan berjuang demi rakyat dan berada pada garda terdepan untuk mengusahakan kesejahteraan rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun