Bahaya Situasi Anomis Terhadap Demokrasi Indonesia
"Meniniti Peran Mahasiswa Unwira Dalam Mewujudkan Pemilu Yang Demokratis"
Sistem pemerintahan demokrasi di Indonesia, bukan sekadar selogan belaka atau kata-kata penghias yang indah. Pemerintahan yang demokratis ini seharusnya menjadi khazanah negara. Prensesia demokrasi di Indonesia semestinya menghadirkan keadilan dalam wajah perpolitikan. Tidak ada sistem pemerintahan terpusat atau para pemimpin-pemimpin otoriter, yang dengan sengaja menggunakan kekuasaan sebagai senjata untuk mengais keuntungan personal.
Sistem pemerintahan yang demokratis menjamin kesamaan antara hak dan kewajiban semua anggota negara, baik pemerintah maupun masyarakat yang diperintah. Produk dari sistem pemerintahan yang diterapkan Indonesia ini seharusnya adalah kesejahteraan bersama (bonum comune). Namun tak bisa disangkal, mata kita pasti dengan jelas menangkap tendesi yang sangat kontradiktif dengan identitas negara kita. Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat hanyalah kalimat retorika belaka yang menghias poster/spanduk jelang pesta demokrasi. Lalu menjadi pertanyaanya apa motif dari penyimpangan ini?
Anomianisme
Telah menjadi pemahaman bersama bahwa sudah tentu filosofi sebab-akibat tidak akan terlepas dari suatu persoalan (substansi). Pada uraian ini kita mencoba mencermati salah satu faktor penyebab kecacatan nilai demokrasi di Indonesia, yakni paham anomianisme. Paham ini tumbuh dan berkembang dari situasi yang oleh Emile Durkheim disebut anomia (a yang berarti 'tidak, bukan, tanpa' dan nomos yang berarti 'hukum'); yakni situasi hidup yang seolah-olah tidak ada hukum, atau ada tetapi tidak berfungsi.
Situasi ini menggambarkan ketiadaan norma dalam masyarakat yang membimbing dan mengarahkan kehidupan bersama sehingga menciptakan keadaan tanpa pemerintahan, aturan, hukum dan menciptakan kekacauan sosial. Situasi ini kemudian melahirkan sikap anomis atau "anomianisme".
Anomianisme sendiri merupakan suatu paham atau sikap pribadi dalam masyarakat/kelompok tertentu yang sekehendak pribadi menanggalkan norma yang berlaku dengan menciptakan suatu situasi seolah-olah tidak ada hukum atau melihat hukum seolah-olah tidak berfungsi sama sekali. Paham ini tidak terlepas dari keberadaan manusia sebagai suatu komunitas duniawi (civitas terrena). Dalam semua tingkat kebersamaan dalam hidup tersebut perihal terpenting yang semestinya harus diperjuangkan adalah suatu dunia yang teratur (kosmos).
Perpolitikan di Indonesia pun harus menyajikan suasana yang penuh dengan kerukanan dan harmonisasi antara pemerintah dan masyarakat yang "katannya" pemilik pemirintahan itu sendiri. Masih membekas dalam benak kita tentang undang-undang MD3 hasil keringat yang bercecer di ruang ber-ac para anggota DPR yang viral beberapa bulan lalu bersamaan dengan sinetron remaja yang berjudul Dilan.
Menarik dilihat bahwa ada kesamaan motif antara pembentukan undang-undang MD3 dan sinetron Dilan ini, yakni sama-sama hasil produk "manipulasi".
Banyak sekanario yang menjadi unsur pembentuk di dalamnya. Akan tetapi lebih menarik menyaksiakan akting para aktris mudah di senetron tersebut daripada menyaksikan wajah-wajah kaum berdasi yang kesukaannya memanipulasi. Entah sampai kapan mereka berdalil, tapi yang pasti jeruji besi akan jadi pilihan hidupnya nanti sebelum nyenyak di dalam peti mati.