Implikasi hukum positif terhadap syariat islam di Aceh adalah diatur secara legal dalam Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Aceh dan Undang-undang No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan terakhir Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001.
Pelaksanaan syariat islam di Aceh diatur dalam Qanun-Qanun yang berisi aturan kehidupan masyarakat Aceh yang sesuai dengan kaidah hukum islam. Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelaksanaan syariat islam.
Penerapan syariat islam di Aceh merupakan sebuah fenomena unik dalam konteks negara Indonesia yang menganut sistem hukum nasional. Keberadaan hukum positif negara yang mengatur berbagai aspek kehidupan, termasuk hukum pidana, perdata, dan tata usaha negara, tentu berinteraksi dengan hukum islam yang diterapkan di Aceh.Â
Dalam hal ini, syariat islam yang diterapkan di Aceh berdampak positif bagi kehidupan masyarakat. Menurut direktur pascasarjana IIQ Â Jakarta, Huzaimah T Yanggo, penerapan syariat islam ini telah berhasil mengurangi perilaku yang tidak baik yang ada di tengah masyarakat Aceh.
Selanjutnya Huzaimah mengatakan, berdasarkan informasi yang di dapatkan dari sejumlah tokoh Aceh saat berkunjung ke sana, melalui penerapan syariat islam, seperti melakukan enam cambukkan bagi mereka yang kedapatan minum minuman keras atau bermain judi, membuat para pelakunya menjadi jera dan tak melakukan hal itu lagi.
 Namun, itu baru enam kali cambukkan, padahal menurut Fikih, hukum bagi penjudi dan peminum itu bisa sampai 40 kali cambukkan. Ia optimis, jika penerapan syariat islam benar-benar dilakukan secara baik, kehidupan masyarakat Aceh akan lebih baik lagi.
Pada interaksi ini melahirkan sejumlah implikasi yang perlu di perhatikan, yakni ;
1. Dualisme Hukum : Adanya dua sistem hukum yang berlaku secara simultan di Aceh, yakni hukum positif negara dan hukum islam, menimbulkan potensi konflik norma. Hal ini menuntut adanya upaya harmonisasi dan sinkronisasi antara  kedua sistem hukum tersebut agar tidak terjadi pertentangan dalam penerapannya.
2. Batasan Penerapan Syariat Islam : Meskipun Aceh memiliki otonomi khusus dalam menerapkan syariat islam, namun penerapannya tetap dibatasi oleh ketentuan-ketentuan dalam konstitusi dan undang-undang yang berlaku di indonesia. Artinya, tidak semua aspek kehidupan dapat diatur sepenuhnya berdasarkan syariat islam.
3. Dinamika Sosial Budaya : Penerapan syariat islam di Aceh juga berimplikasi pada dinamika sosial budaya masyarakat. Adanya perubahan dalam tatanan sosial dan nilai-nilai yang dianut masyarakat Aceh memerlukan adaptasi dan penyesuaian yang terus-menerus.
4. Peran Mahkamah Agung : Mahkamah Agung sebagai lembaga tertinggi peradilan di indonesia memiliki peran penting dalam menyelesaikan sengketa yang terkait dengan penerapan syariat islam di Aceh. Putusan Mahkamah Agung menjadi acuan dalam penafsiran dan penerapan hukum di tingkat daerah.
Maka oleh karena itu, bila masyarakat dan pemerintah Aceh menerapkan syariat islam dengan cara yang bijak, jujur, penuh kelembutan, dan langkah-langkah yang baik, kata Satori, insya Allah mereka akan mendapatkan keberkahan dari Allah SWT. Â "Hal ini penting, jangan sampai salah niat" katanya. Karena, banyaknya ujian dan ganjalan dari berbagai pihak, salah satunya masyarakat barat.
Demikian penerapan syariat islam di Aceh merupakan sebuah eksperimen yang menarik dalam konteks negara indonesia. Meskipun membawa banyak manfaat, namun juga menimbulkan sejumlah tantangan dan permasalahan yang perlu diatasi. Untuk mencapai keseimbangan antara nilai-nilai kemanusiaan, diperlukan upaya bersama dari semua pihak terkait, baik pemerintah, masyarakat, maupun para ahli hukum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H