Mohon tunggu...
Farida Sofwana
Farida Sofwana Mohon Tunggu... lainnya -

Wanita biasa yang ingin berbagi dengan sesama agar tidak terlahir sia-sia.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Senja, Pelangi, dan Jejak di Atas Pasir

6 Juli 2012   22:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:13 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Senja, Pelangi, dan Jejak di Atas
Pasir
By Agus Helly
Aku mengenalnya ribuan tahun lalu. Sorot
mata itu. Membuatku terdiam kaku.
Pernah kutulis satu puisi. Selalu kubaca.
Dan tetap menghadirkan getaran yang
sama setiap kali aku membacanya.
Hari ini, di pantai Canggu, kembali kami
bertemu. Aku masih ingat sorot mata itu.
Pesonanya masih tetap sama,
membuatku diam tak punya daya. Meski
untuk sekedar menatapnya. Ada sejuta
kisah di dalamnya. Susah untuk kucerna.
Di atas pasir hitam, kaki kami
meninggalkan jejak-jejak di belakang.
Terkadang anak ombak menghapusnya,
seolah tahu kami tak ingin jejak kami
pernah ada di sini.
“Kamu harusnya tahu bagaimana caraku
menatapmu. Dari pertama kita bertemu,
aku mengagumi kamu. Dan sampai hari
ini, indahmu tak pernah surut dimataku”
“Mengapa tak kaukatakan dari dulu?”
"Harusnya kamu tahu, Senja!"
Aku terdiam, menyesali kebodohanku.
“Bagaimana aku tahu jika kamu tak
pernah katakan itu padaku? Kalau pun aku
tahu, aku tak mungkin berani
menterjemahkan tatapan matamu!"
Degup jantungku bergetar. Hembusan
nafasku pun mampu kudengar, “mengapa
baru sekarang kamu katakan itu?
Mengapa?”
Pelangi terdiam.
Sejenak menunduk.
Terdengar suaranya lirih, setengah
bergumam,
"Karena aku tahu, aku tak akan pernah
memilikimu."
"Mengapa kamu berkata begitu?"
"Karena aku tahu, matahari dan awan
selalu ada di sampingmu. Menjagamu."
"Aku bukan semata milik mereka,
Pelangi!"
“Aku tahu. Tapi mereka menjagamu. Dan
aku tak ingin merampas hidupmu. Aku
takut menyakitimu."
Terdiam. Dadaku kaku.
Tahukah kamu?
Aku pernah terbangun
Sendiri di malam sunyi
Kamu bernyanyi
Cinta bukan hanya di mata
Cinta hadir di dalam jiwa
"Lalu... Apa artinya ciuman malam itu?"
"Karena aku menginginkanmu! Kenapa
kau pertanyakan itu!"
"Sekarang aku menginginkanmu."
"Senja, aku menginginkanmu dengan
hatiku, bukan dengan nafsuku. Aku makin
menua. Jangan kau tunggu aku"
“Aku rela menua bersama kamu. Dan aku
rela berdosa demi kamu. Tidakkah kamu
pernah berpikir, kita memang ditakdirkan
bersama? Senja dan Pelangi?”
"Kamu sok romantis. Cerita itu hanyalah
dongeng penghantar tidur. Hidup tak
selamanya manis. Aku malah belajar,
terkadang yang pahit itu menyembuhkan.”
“Mengapa tidak kita mulai dari sekarang?
“Kisah kita bukanlah puisi indah sang
pujangga,”
Dia beranjak pergi.
“Kamu mau kemana, Pelangi?”
“Senja, sudah larut. Kamu harus pergi.
Kamu adalah kekasih sang malam. Dialah
tempatmu pulang. Dan aku, aku adalah
milik matahari. Tanpa matahari, aku tak
akan pernah ada di sini”
“Apakah kita masih bisa bertemu?”
“Biarkan alam yang mengaturnya.
Terkadang mimpi lebih baik tetap menjadi
mimpi. Jangan tanyakan takdir kita”
“Aku terlanjur mencintaimu!”
Suara itu menjauh
Senja, kisah kita akan abadi
Tak perlu ada yang tahu
Cukup kamu dan aku
Kalau kamu merindukanku, kamu tahu
kemana harus mencariku
Jejak di atas pasir ini akan menuntunmu
“Seandainya kita tidak bertemu?”
Biarkan ombak itu menghapus jejak kita
Dan teruskan puisi-puisi liarmu
Aku akan selalu membacanya
Di antara pasir-pasir dan malamku

Jimbaran, November 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun