Mohon tunggu...
Frida Sibarani
Frida Sibarani Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kapita Selekta: Antara Politik, Ruang Publik dan Opini Publik

17 Mei 2016   16:36 Diperbarui: 17 Mei 2016   17:12 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Jalan Parangtritis km. 2, diambil dari jogjatribunnews.com, dengan pengubahan warna dan penambahan teks.


Kutipan diatas diambil dari salah satu percakapan dalam Mr. Robot TV Series. Berbicara mengenai demokrasi, ada baiknya bila kembali menilik pengertian mengenai demokrasi itu sendiri. Dalam KBBI, arti demokrasi adalah (1) bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya; pemerintahan rakyat; (2) gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara. Sedangkan bila dilihat melalui asal usul kata demokrasi sendiri berasal dari bahasa Yunani, demokratia yang merupakan gabungan dari kata demos (rakyat) dan kratos (kekuatan). 

Dapat disimpulkan demokrasi merupakan sistem yang sumber kekuatannya adalah rakyat. Secara singkat, Abraham Lincoln berpendapat bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan yang berprinsip dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.

Bila demikian, maka opini publik mengambil bagian penting dalam berjalannya sebuah negara dengan sistem demokrasi, dimana opini ini nantinya akan menjadi suatu kebijakan publik. Opini publik akan terbentuk dengan kehadiran ruang publik. Ruang publik sendiri menurut Jurgen Habermas ruang publik berisikan individu-individu yang mendiskusikan isu-isu yang sedang berkembang sebagai dampak periodik pers. 

Ruang publik sendiri diartikan sebagai public sphere alih-alih publik space. Mungkin perbedaan penggunaan sphere dan space dianggap tidak terlalu berbeda, namuk bila ditilik lebih jauh, sphereberarti ‘a particular environment or walk of life’ sedangkan space‘a continous area or expanse which is free, available, or unoccupied’. Terlepas dari bentuk ruang itu sendiri apakah berupa fisik atau pun tidak, yang menjadi pembeda terbesar adalah keberadaan aktifitas didalamnya, pada kasus ruang publik ini, ruang memiliki aktifitas berupa diskusi (percakapan) mengenai isu-isu yang ada.

Lahirnya Opini Publik

Ruang publik, dimana individu mendiskusikan mengenai isu-isu yang ada akan melahirkan opini publik yang kemudian mengarah pada lahirnya kebijakan publik. Opini publik menjadi penting mengingat opini publik ini nantinya akan menghasilkan kebijakan untuk publik, hal ini juga menjadi indikasi pentingnya ruang publik dilahirkan. Selain kehadiran ruang publik itu sendiri, bagaimana ruang publik itu terbentuk pun menjadi sesuatu yang penting. Ruang publik merupakan ruang mandiri yang terpisah dari ruang pasar (market) dan ruang negara (state), hal ini menjadi penting agar pembentukan opini publik menjadi objektif tanpa adanya kepentingan-kepentingan personal (kepentingan privat) yang diikut sertakan. Bila demikian, seperti kutipan pembuka tulisan ini “Our Democracy Has Been Hacked”.

Menurut Habermas, “Democratic public life cannot develop where matters of public importance are not discussed by citizens.” Hal ini menjadi menarik, bagaimana besarnya pengaruh opini publik bagi perkembangan bangsanya karena berkaitan erat dengan pengambilan keputusan.

“... politik bukanlah sebuah alternatif bagi kehidupan manusia, melainkan sebuah pencapaian puncak eksistensinya, sebuah apa yang saya sebut sebagai “konstruksi eksistensial” yang memungkinkan manusia menemukan kebenaran bahwa ia adalah manusia—politik adalah sebuah aletheia, disclosure, penyingkapan”

(MANUSIA POLITIK Sebuah Rekonstruksi Interpretasi Hannah Arendt terhadap Tindakan Politik Manusia Edi Riyadi Terre dalam Manusia, Perempuan, Laki-Laki, 2013, Jakarta: Komunitas Salihara-Hivos)

Opini publik menjadi dekat kaitannya dengan politik karena keduanya berkaitan dengan pengambilan keputusan.

Kebijakan dan Partisipasi

Aksi dan reaksi merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Dari setiap aksi yang dilakukan tentu akan memancing reaksi yang merupakan respon dari aksi yang dilakukan. Hal ini terjadi hampir di setiap aspek kehidupan, pula dalam hal kebijakan publik. Contoh kasus dalam tulisan ini adalah pengalihan fungsi jalur sepeda menjadi area parkir pasar prawirotaman (Jl. Parangtritis KM 2).

Dimunculkannya kebijakan dibuatnya jalur sepeda di jalan-jalan kota Yogyakarta, termasuk Jl. Parangtritis dikarenakan adanya program “Segosegawe” dari pemerintah. Program ini ditujukan untuk meningkatkan penggunaan sepeda dan menekan penggunaan kendaraan bermotor di wilayah kota Yogyakarta. Namun, adanya kebijakan ini membuat lebar jalan menjadi berkurang guna jalur sepeda. Sedangkan Jalan Parangtritis sendiri dalam Peraturan Daerah Kota Yogyakarta No. 02 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Yogyakarta, Pasal 31 digolongkan sebagai jaringan kolektor sekunder. Kriteria jalan kolektor sekunder ini salah satunya adalah lalu lintas cepat tidak boleh terganggu oleh lalu lintas lambat. Hal ini tentu tumpang tindih dengan keberadaan jalur sepeda yang merupakan jalur lambat.

Tumpang tindihnya kebijakan ini kemudian membuat peruntukan jalan menjadi rancu yang kemudian menjadi celah bagi beberapa pihak. Jalur sepeda ini kemudian digunakan sebagai area parkir terutama saat jam aktif pasar. Hal ini juga merupakan reaksi dari terbatasnya lahan parkir di saat laju volume kendaraan meningkat. Sebagai dampak dari bergesernya fungsi lahan ini kemudian jalan menjadi padat, menimbulkan kemacetan.

Kondisi lingkungan dengan dampak dari kebijakan yang tumpang tindih ini tentunya menjadi bahan pembicaraan di masyarakat. Setidaknya, hadirnya tulisan ini pun sebagai salah satu respon dari kondisi yang ada. Munculnya perbincangan mengenai kondisi ini dapat menjadi indikasi ruang publik masih ada. Keberadaan ruang publik ini menimbulkan opini, membuka wacana guna lahirnya kebijakan yang lebih bijak lagi dalam menanggapi kondisi di masyarakat. Walaupun kondisi tata ruang (bila boleh dikatakan) masih belum tertata, setidaknya kondisi ini mendorong hadirnya wacana tentang kebijakan itu sendiri. Kehadiran wacana ini dapat dimaknai sebagai kepedulian masyarakat kepada kotanya, kepada lingkungannya, kepedulian inilah yang kemudian dapat mendorong Yogyakarta menjadi kota yang lebih nyaman.

Seperti dalam lagu Kla Project- Yogyakarta,

“Walau kini kau t’lah tiada tak kembali

Namun kotamu hadirkan senyummu abadi

Ijinkalah aku untuk s’lalu pulang lagi

Bila hati mulai sepi tanpa terobati”

Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Opini publik yang dibentuk melalui ruang publik guna kepentingan publik akan membantu kota Yogyakarta menjadi kota yang bukan sekedar kota tetapi juga rumah untuk kembali.

---

Armand, Avianti. 2011. Arsitektur yang Lain. Jakarta: Gramedia.

Halim, Syaiful. 2013. Postkomodifikasi Media: Analisis Media Televisi dengan TeoriKritis dan Cultural Studies. Yogyakarta: Jalasutra.

Hardiman, Budi Francisco. 2003. Kritik Ideologi: Menyingkap Kepentingan PengetahuanBersama Jurgen Habermas. Yogyakarta: Penerbit Buku Baik.

Storey, Jhon. 2007. Pengantar Komprehensif Teori dan Metode Cultural Studies danKajian Budaya Populer. Yogykarta: Jalasutra.

Edi Riyadi Terre, Manusia, Perempuan, Laki-Laki "Manusia Politik: Sebuah Rekonstruksi Interpretasi Hannah Arendt terhadap Tindakan Politik Manusia", 2013, Jakarta: Komunitas Salihara-Hivos

---

Frida Sibarani

DKV Non Reguler / 1310065124

---

Tulisan dibuat untuk pemenuhan tugas mata kuliah Kapita Selekta DKV ISI Yogyakarta, 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun