Kebijakan dan Partisipasi
Aksi dan reaksi merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Dari setiap aksi yang dilakukan tentu akan memancing reaksi yang merupakan respon dari aksi yang dilakukan. Hal ini terjadi hampir di setiap aspek kehidupan, pula dalam hal kebijakan publik. Contoh kasus dalam tulisan ini adalah pengalihan fungsi jalur sepeda menjadi area parkir pasar prawirotaman (Jl. Parangtritis KM 2).
Dimunculkannya kebijakan dibuatnya jalur sepeda di jalan-jalan kota Yogyakarta, termasuk Jl. Parangtritis dikarenakan adanya program “Segosegawe” dari pemerintah. Program ini ditujukan untuk meningkatkan penggunaan sepeda dan menekan penggunaan kendaraan bermotor di wilayah kota Yogyakarta. Namun, adanya kebijakan ini membuat lebar jalan menjadi berkurang guna jalur sepeda. Sedangkan Jalan Parangtritis sendiri dalam Peraturan Daerah Kota Yogyakarta No. 02 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Yogyakarta, Pasal 31 digolongkan sebagai jaringan kolektor sekunder. Kriteria jalan kolektor sekunder ini salah satunya adalah lalu lintas cepat tidak boleh terganggu oleh lalu lintas lambat. Hal ini tentu tumpang tindih dengan keberadaan jalur sepeda yang merupakan jalur lambat.
Tumpang tindihnya kebijakan ini kemudian membuat peruntukan jalan menjadi rancu yang kemudian menjadi celah bagi beberapa pihak. Jalur sepeda ini kemudian digunakan sebagai area parkir terutama saat jam aktif pasar. Hal ini juga merupakan reaksi dari terbatasnya lahan parkir di saat laju volume kendaraan meningkat. Sebagai dampak dari bergesernya fungsi lahan ini kemudian jalan menjadi padat, menimbulkan kemacetan.
Kondisi lingkungan dengan dampak dari kebijakan yang tumpang tindih ini tentunya menjadi bahan pembicaraan di masyarakat. Setidaknya, hadirnya tulisan ini pun sebagai salah satu respon dari kondisi yang ada. Munculnya perbincangan mengenai kondisi ini dapat menjadi indikasi ruang publik masih ada. Keberadaan ruang publik ini menimbulkan opini, membuka wacana guna lahirnya kebijakan yang lebih bijak lagi dalam menanggapi kondisi di masyarakat. Walaupun kondisi tata ruang (bila boleh dikatakan) masih belum tertata, setidaknya kondisi ini mendorong hadirnya wacana tentang kebijakan itu sendiri. Kehadiran wacana ini dapat dimaknai sebagai kepedulian masyarakat kepada kotanya, kepada lingkungannya, kepedulian inilah yang kemudian dapat mendorong Yogyakarta menjadi kota yang lebih nyaman.
Seperti dalam lagu Kla Project- Yogyakarta,
“Walau kini kau t’lah tiada tak kembali
Namun kotamu hadirkan senyummu abadi
Ijinkalah aku untuk s’lalu pulang lagi
Bila hati mulai sepi tanpa terobati”
Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Opini publik yang dibentuk melalui ruang publik guna kepentingan publik akan membantu kota Yogyakarta menjadi kota yang bukan sekedar kota tetapi juga rumah untuk kembali.