Mohon tunggu...
Frida Santika
Frida Santika Mohon Tunggu... Author -

Learning By Doing Waktu menjadi Jawaban untuk sebuah pertanyaan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Corat-coret Kelulusan, Budaya atau Buruknya Karakter Lulusan?

3 Mei 2017   10:26 Diperbarui: 3 Mei 2017   10:38 3506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

                Tanggal 2 mei adalah Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) bertepatan dengan pengumuman kelulusan bagi siswa-siswi SMA. Perayaan kelulusan di Indonesia indentik dengan corat-coret dengan menggunakan spidol, piloks dan lain sebagainya. corat-coret baju seragam bahkan rambut sering dilakukan siswa,  alasannya sebagai luapan kegembiraan karena telah lulus dari sekolah setelah menempuh pendidikan selama tiga tahun, corat-coret ini sering dilanjutkan dengan konvoi di jalanan yang menimbulkan kemacetan di jalan raya.

            Perayaan kelulusan tidak hanya dirayakan di Indonesia, perayaan kelulusan juga diadakan di negara-negara lain di dunia misalnya di Jepang perayaan kelulusan dengan memberikan 2 buah kancing baju teratas kepada orang yang dia sukai selama disekolah  dan negara Swedia merayakan kelulusan dengan menggunakan truk atau traktor dengan berpakaian formal kemudian berkeliling kota. Perayaan kelulusan dinegara-negara lain bisa menjadi pembanding bagi negara kita.

            Perayaan kelulusan beragam di Indonesia misalnya dengan doa bersama, mengunjungi panti sosial dan lain sebagainya, tetapi yang paling sering dilakukan adalah dengan budaya corat-coret. Berhasil atau tidaknya suatu pendidikan seharusnya tidak hanya dilihat dari perolehan angka yang diperoleh tetapi yang utama adalah karakter, dihasilkannya anak yang memiliki karakter yang baik. Budaya corat-coret yang menimbulkan masalah di masyarakat mengakitakan kemacetan karena melakukan konvoi dan lain sebagainya bisa dijadikan salah satu tolak ukur keberhasilan karakter peserta  didik sangat rendah.

Cerminan lulusan yang dihasilkan yang bisa kita saksikan dijalanan tidak jauh berbeda dengan kejadian yang terjadi di negeri kita ini seperti demo-demo anarkis yang sering dilakukan di negeri kita ini, budaya anarkis ini datangnya dari sekolah-sekolah yang sudah mereka tunjukkan sejak kelulusan. Begitu mereka terjun ke masyarakat maka akan dengan mudah melakukan tindakan anarkis karna dari bangku sekolah sudah terbiasa.

            Sekolah adalah tempat untuk mencegah terjadinya budaya ini,  banyak sekolah-sekolah yang menindak tegas pelaku yang corat-coret  tetapi tidak sedikit sekolah yang membiarkan hal ini terjadi, jadi secara tidak langsung sekolah berperan dalam menciptakan orang-orang anarkis di negeri kita ini. Seharusnya semua sekolah melakukan kesepakatan sehingga aturan yang digunakan seragam. Menindak tegas anak-anak yang melakukan corat-coret, sebelum hal ini terjadi pihak sekolah membuat kesepakan dengan siswa, siswa yang melanggar akan mendapat tindakan tegas, hal ini akan menghentikan budaya corat-coret karna yang berhak menghentikan ini adalah pihak sekolah.


           Penanaman karakter perlu ditambahkan dalam kurikulum sistem pendidikan kita tidak hanya melalui ucapan seperti yang kita lihat di silabus, di silabus dituliskan dihasilkannya anak yang berkarakter. Teori tetaplah teori dan selamanya hanya akan teori tetapi yang utama adalah praktek, secara teori anak bisa mengerti tetapi saat melaksanakannya tidak bisa itu bisa dikatakan gagalnya hasil pendidikan di negeri kita.

            Contoh sederhana, secara teori seseorang  paham bagaimana cara mengendarai motor tetapi kalau tidak dipraktekkan itu adalah pembodohan,  mempraktekkan langsung akan membuat  mengerti  secara langsung tanpa kita ajarkan secara teori. begitu juga dengan karakter dengan mempraktekkan maka anak akan mengerti dan bisa melaksanakannya.

            Karakter harus juga menjadi penilaian utama dalam kelulusan tidak hanya angka. Membudayakan seseorang mengantri,  mendengarkan pembicaraan orag lain dan menghormati orang lain itu cenderung luput dari perhatian kita, karna untuk kenaikan kelas pun standart kenaikan adalah KKM sehingga kita hanya berfokus pada angka tidak berfokus kepada pembentukan pribadi anak.

                       

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun