Puisi ini ditulis pada tanggal 1 Mei 2020. Saat itu, pandemi Covid-19 sedang beringas melanda Indonesia. Tidak hanya di Indonesia, edaran pemberlakuan karantina telah tersebar di seluruh penjuru dunia. Saat itu, jalan raya, taman hiburan, perkantoran, bahkan sekolah sepi sayup.
Berbagai aktivitas tatap muka dialihkan menjadi tatap maya. Banyak penyesuaian-penyesuain yang membuat masyarakat Indonesia, khususnya, dituntut untuk lebih melek teknologi dari sebelumnya. Banyak hal sulit yang sudah terlewati, juga perasaan menyedihkan lainnya yang berhasil dilalui.Â
Di era itu, aktivas penggunaan sosial media sangat meningkat pesat. Sosial media menjadi santapan peralihan, penghibur, dan penyalur suka, duka, dan luka bagi mereka yang membutuhkan alat untuk menyampaikan kegelisahan, ketakutan, maupun kesedihan, baik ketika adanya atau tidak adanya orang yang berarti di sisinya, saat itu.
Puisi ini adalah bentuk sebuah kegelisahan ketika melihat kondisi Bumi Pertiwi yang sangat memilukan dan menyisakan sesak akibat kehilangan yang teramat banyak jumlahnya. Juga sebagai bentuk sebuah harapan, angan-angan tentang kebebasan untuk hidup normal seperti sedia kala.
Berikut puisi yang ditulis pada bulan Mei, dengan perasaan sungguh yang kini sudah menjadi kenangan.Â
Teruntuk Pertiwi, Lekas Membaiklah.
Dua ribu dua puluh, penuh duka
Air mata.
Masa tragis, peluh membasuh
Paradigma yang mulai tak terasuh.
Jumat pukul lima
Masih pada nasib yang sama
Memainkan rima
Belajar untuk seirama
Negeri ini merdeka
Dulu, sebelum garuda berduka