Mohon tunggu...
Fri Dolin Siahaan
Fri Dolin Siahaan Mohon Tunggu... mahasiswa -

Advokat

Selanjutnya

Tutup

Politik

Lemahnya Perhatian Sosial Telah Melanggar Hukum Normatif yang Menghancurkan Jiwa Bangsa

12 Januari 2016   11:36 Diperbarui: 12 Januari 2016   12:03 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kata kunci/ key word : jiwa bangsa (volkgeist)

A. Teori Normatif
Teori hukum merupakan kelanjutan dari usaha untuk mempelajari hukum positif. Teori hukum menggunakan hukum positif sebagai bahan kajian dengan telaah filosofis sebagai salah satu sarana bantuan untuk menjelaskan tentang hukum. Salah satu kelemahan studi hukum di Indonesia adalah sedikitnya pemahaman terhadap konsepsi hukum secara utuh sebagai satu sistem ilmu yang berbeda dengan ilmu pengetahuan yang lain. Kondisi tersebut diperperah dengan tidak adanya literatur hukum yang membahas secara utuh pemikiran hukum dari tokoh-tokoh yang berpengaruh. Miskinnya literatur teori hukum dalm bahasa Indonesia sedikit banyak telah mengakibatkan menurunnya kualitas para ahli hukum. Dunia hukum di Indonesia menjadi kering karena perdebatannya hanya bersifat normatif pasap-pasal dalam peraturan perungang-undangan tanpa dilandasi kerangka teoritis.
Hukum di Indonesia yang dibentuk melalui perundang-undangan tidak terlepas dari hukum positif. Hukum positif disini jangan diartikan sebagai lawan dari negatif, positif maksudnya “poenere” yang artinya ditetapkan. Istilah ‘positive’ dipakai untuk memberikan maksud bahwa hukum itu ditetapkan dengan pasti, tegas, dan nyata. Dan pengguna istilah ini juga bermaksud untuk membedakannya dengan nilai-nilai yang berasal dari Tuhan dan moral yang bersifat abstrak dan tidak nyata.
Karena telah begitu dibedakannya suatu yang nyata dan suatu yang tidak nyata, maka aliran hukum positif ini begitu memandang perlu untuk memisahkan secara tegas antara hukum dan moral atau antara hukum yang berlaku ( das sein) dengan hukum yang seharusnya (das sollen).
Dalam kacamata aliran hukum positif, tiada hukum lain kecuali perintah penguasa atau inti aliran hukum positif ini menyatakan bahwa norma hukum adalah sah apabila ia ditetapkan oleh lembaga atau otoritas yang berwenang dan didasarkan pada aturan yang lebih tinggi, bukan digantungkan pada nilai moral. Norma hukum yang ditetapkan itu tidak lain adalah undang-undang. Undang-undang adalah sumber hukum, diluar undang-undang bukan hukum. Teori hukum positif mengakui adanya norma hukum yang bertentangan dengan nilai moral, tetapi hal ini tidak mempengaruhi keabsahan norma hukum tersebut.
Aliran hukum positif ini sangat mengagumkan hukum tertulis, sehingga aliran ini beranggapan bahwa tidak ada norma hukum diluar hukum positif, semua persoalan dalam masyarakat diatur dalam hukum tertulis. Pandangan yang sangat mengagum-agungkan hukum tertulis pada positivisme hukum ini, pada hakikatnya merupakan penghargaan yang berlebihan terhadap kekuasaan yang menciptakan hukum tertulis itu, sehingga dianggap kekuasaan ini adalah sumber hukum dari kekuasaan adalah hukum. Menurut W. Friedmann, secara umum tesis-tesis pokok dari aliran hukum positif ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Hanya ilmu yang dapat memberikan pengetahuan yang sah;
2. Hanya fakta yang dapat memberikan objek pengetahuan;
3. Metode filsafat tidak berbeda dengan metode ilmu;
4. Tugas filsafat adalah menemukan asas umum yang berlaku bagi semua ilmu dan menggunakan asas-asas ini sebagai pedoman bagi perilaku manusia dan menjadi landasasn bagi organisasi sosial;
5. Semua interpretasi tentang dunia harus didasarkan semata-mata atas pengalaman (empiris-verifikatif);
6. Bertitik tolak pada ilmu-ilmu alam;
7. Berusaha memperoleh suatu pandangan tunggal tentang dunia fenomena, baik dunia fisika maupun dunia manusia, melalui aplikasi metode dan perluasan hasil-hasil ilmu-ilmu alam.

Ada berbagai aliran-aliran didalam hukum positif itu sendiri antara lain adalah:

1. Aliran Hukum Analitis
John Austin seorang filsuf pelopor aliran hukum analitis (analytical legal positism), seorang ahli hukum Inggris. Austin menyatakan bahwa satu-satunya sumber hukum kekuasaan yang tertinggi dalam suatu negara, sedangkan sumber-sumber lain hanyalah sebagai sumber yang lebih rendah. Sumber hukum itu adalah pembuatnya langsung, yaitu pihak yang berdaulat atau badan perundang-undangan yang tertinggi, dan semua hukum di alirkan dari sumber yang sama. Hukum yang bersumber ditaati tanpa syarat, sekalipun terang dirasakan tidak adil.
John Austin (1995) kemudian membagi dua kategori didalam hukum, yaitu:
a. Hukum dalam arti yang sebenarnya (laws properly so called);
b. Hukum dalam arti yang tidak sebenarnya (laws improperly so called).
Kemudian dalam pandangan John Austin hukum adalah perintah (command), pemahaman John Austin tentang hukum yaitu sesuatu yang jelas dan tegas keberadaannya, yang merupakan suatu produk dari kekuatan politik yang lebih kuat untuk suatu kekuatan politik yang lebih lemah. Selanjutnya hukum dalam pengertiannya adalah juga suatu aturan yang berlaku untuk memberikan arahan (guidance) bagi manusia (intelligent being) dari dan oleh manusia yang mempunyai kekuasaan (having power over him).
Dalam pandangan John Austin tersebut, pemberi perintah (commander) atau pembentuk hukum tersebut dapat digolongkan sebagai orang maupun suatu badan atau institusi dengan satu kedaulatan yang dimilikinya dari suatu masyarakat politik yang bebas. Sementar keadulatan yang dimaksud oleh Austin disini adalah dalam konteks kebiasaan mematuhi masyarakat terhadap suatu perintah dari yang berdaulat.
Kemudian dalam pandangan John Austin, perintah (command) dari penguasa yang memiliki kedaulatan (soverign) harus disertai dengan sanksi (sanction) atau kepatuhan yang dipaksa (the evil) apabila perintah itu tidak dipatuhi.

2. Aliran Hukum murni
Tokoh yang menonjol dalam teori hukum murni yakni Hans Kelsen, seorang kelahiran Austria yang akhirnya menjadi warga negara Amerika. Yang perlu di ingat bahwa Kelsen itu mengetahui kesulitan oleh Stammler dan Del Vecchio. Menurut Hans Kelsen, hukum dan keadilan adalah dua konsep yang berbeda sehingga keadilan itu harus dipisahkan dari hukum (law and justice are two different).
Membebaskan konsep hukum dari ide keadilan cukup sulit karena secara terus-menerus dicampur-adukan secara politis terkait dengan tendensi ideologi untuk membuat hukum terlihat sebagai keadilan. Jika hukum dan keadilan indentik, jika hanya aturan yang adil disebut sebagai hukum, maka suatu tata aturan sosial yang disebut hukum adalah adil, yang berarti suatu judifikasi moral. Tendensi mengidentifikasi hukum dan keadilan adalah tendensi untuk menjudufikasikan tata aturan sosial. Hal ini merupakan tendensi dan cara kerja politik, bukan tendensi ilmu pengetahuan. Pertanyaan apakah suatu hukum adalah adil atau tidak dan apa elemen esensial dari keadilan, tidak dapat dijawab secara ilmiah, maka the pure theory of law sebagai analisis yang ilmiah tidak dapat menjawab. Yang dapat dijawab hanyalah tata aturan tersebut mengatur perilaku manusia yang berlaku bagi semua orang dan semua orang menemukan kegembiraan didalamnya. Maka keadilan sosial adalah kebahagiaan sosial.
Teori inipun tidak menolak dalil bahwa hukum harus baik dan sesuai dengan moral. Yang ditolak adalah bahwa pandangan hukum merupakan bagian dari moral dan semua hukum adalah arti tertentu atau derajat tertentu dari moral. Menyatakan bahwa hukum adalah wilayah tertentu dari moralitas sama halnya dengan menyatakan bahwa hukum harus sesuai dengan moralitas.
Keadilan dimaknai sebagai legalitas. Adalah adil jika suatu aturan diterapkan pada semua kasus dimana menurut isinya memang aturan tersebut harus diaplikasikan. Adalah tidak adil jika suatu aturan diterapkan pada satu kasus tetapi tidak pada kasus lain yang sama. Keadilan dalam arti legalitas adalah suatu kualitas yang tidak berhubungan dengan isi tata aturan positif, tetapi dengan pelaksanaannya. Menurut legalitas, pernyataan bahwa tindakan individu adsalah adil atau tidak adil berarti legal atau ilegal, yaitu tindakan tersebut sesuai atau tidak sesuai dengan norma hukum yang valid untuk menilai sebagai bagian dari tata hukum positif. Hanya dalam makna legalitas inilah keadilan dapat masuk ke dalam ilmu hukum.
Disebut teori “hukum murni” karena hanya menjelaskan hukum dan berupaya membersihkan objek penjelasannya dari segala hal yang tidak bersngkut paut dengan hukum. Tujuannya adalah membersihkan ilmu hukum dari unsur-unsur nonyuridis. Ha ini yang merupakan landasan metodologis, pendekatan semacam itu tampaknya merupakan hal yang sudah selayaknya.
Namun, dari tinjauan sekilas terhadap ilmu hukum tradisional yang berkembang pada abad ke-19 dan ke-20, dapat diketahui dengan jelas betapa ia sudah begitu jauh dari dalil kemurnian, secara tidak kritis ilmu hukum telah dicampuradukan dengan unsur-unsur psikologis, sosiologis, etika, dan teori politik. Teori hukum murni berupaya membatasi pengertian hukum pada bidang-bidang tersebut, bukan karena ia mengabaikan atau memungkiri kaitannya, melainkan karena ia hendak menghindari percampuradukan berbagai disiplin ilmu yang berbeda metodologinya (sinkretisme metodologi) yang menghamburkan esensi ilmu hukum dan maniadakan batas-batas yang ditetapkan padanya oleh sifat pokok bahasanya.

3. Aliran Hukum Utilistis
Penganut utilistis ini adalah Jeremy Bentham, John Stuart Mill, dan Rudolf von Jhering. Namun demikian, terdapat perbedaan pandangan diantara keduanya. Jeremy Bentham dikenal sebagai bapak Utilitarianisme Individual, sedangkan Rudolf von Jhering adalah bapak Utilitarisme Sosiologis.
Sebagian besar ajaran Jeremy Bentham mengemukakan butir-butir ikhtisar dan esensi ajaran:
a. Tujuan hukum dan wujud keadilan menurut Jeremy Bentham adalah untuk mewujudkan the greates happiness of the greatest number (kebahagiaan yang sebesar-besarnya untuk sebanyak-banyaknya orang).

b. Tujuan perundang-undangan menurut Jeremy Bentham adalah untuk mengahasilkan kebahagiaan bagi masyarakat. Untuk itu, perundang-undangan harus berusaha mencapai empat tujuan, yaitu:
1. To provide subsistence (untuk memberi nafkah hidup);
2. To provide abundance (untuk memberikan makanan yang berlimpah);
3. To provide security (untuk memberikan perlindungan); dan
4. To attain equility (untuk mencapai persamaan).

c. Menurut Bentham, ada dua tipe studi ilmu hukum (jurisprudential study), yaitu:
1. Expository Jurisprudence
Ilmu hukum ekspositor ini tidak lebih dari studi hukum sebagaimana adanya. Objek studi ini adalah menemukan dasar-dasar dari asas-asas hukum melalui penganalisisan sistem hukum sebagaimana ia adanya.
2. Censorial Jurisprudence
Ilmu hukum sensorial ini merupakan studi kritis tentang hukum (dikenal juga sebagai deontology) untuk meningkatkan efektifitas hukum dalam pengoprasiannya.


B. Behavior
Teori Behavior merupakan sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Kemudian teori ini berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap pengembangan teori pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Teori behavior dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Behaviorisme tidak mau mempersoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional atau emosional, behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilakunya dikendalian oleh faktor-faktor lingkungan. Dalam arti teori belajar yang lebih menekankan pada tingkah laku manusia. Memandang individu sebagai makhluk reaktif yang memberi respon terhadap lingkungan.
Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka. Dari hal ini, timbulah konsep ”manusia mesin” (Homo Mechanicus). Ciri dari teori ini adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar,mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan.
Teori ini menunjukan sebagai proses aksi (Stimulus) dan reaksi (Respon) yang sangat sederhana. Sebagai contoh bila seorang lelaki berkedip mata kepada seorang wanita, dan kemudian wanita itu tersipu malu itulah yang dimaksud teori S-R. Jadi teori S-R mengasumsikan bahwa kata-kata verbal ( lisan – tulisan ), isyarat-isyarat nonverbal, gambar-gambar, dan tindakan-tindakan tertentu akan merangsang orang lain untuk memberikan respon dengan cara tertentu. Maka teori ini dapat dianggap sebagai proses pertukaran atau perpindahan informasi. Proses ini dapat bersifat timbal balik dan mempunyai banyak efek. Setiap efek dapat mengubah tindakan komunikasi berikutnya.
Dalam Proses perpindahan informasi ada dua kemungkinan respon yang akan terjadi setelah stimuli diberikan oleh komunikator, yaitu reaksi negative dan positif. Reaksi positif terjadi apabila komunikan menerima stimuli dari komunikator dan memberikan reaksi seperti apa yang diharapkan oleh sang komunikator. Sebagai contoh jika anda bertemu dengan teman anda dan anda melambaikan tangan kepadanya kemudian anda juga mendapat lambaian tangan darinya ini merupakan sebuah respon positf yang ditunjukan oleh teman anda sebagai komunikan, namun jika lambaian tangan anda tersebut dibalas oleh teman anda dengan memalingkan wajah maka dapat dikatakan proses penyampaian pesan anda berlangasung negative.
Teori behavior mengabaikan komunikasi sebagai suatu proses, khususnya yang berkenaan dengan faktor manusia. Secara implisit ada asumsi dalam teori S-R ini bahwa perilaku (respon) manusia dapat diramalkan. Ringkasnya, komunikasi dianggap statis. Manusia dianggap berperilaku karena kekuatan dari luar (stimulus), bukan berdasarkan kehendak,keinginan atau kemauan bebasnya. Model inilah yang kemudian mempengaruhi suatu teori klasik komunikasi yaitu Hypodermic Needle atau teori jarum suntik. Asumsi dari teori inipun tidak jauh berbeda dengan model S-R, yakni jika kita menggunakan media sebagai kasusnya maka media secara langsung dan cepat memiliki efek yang kuat tehadap komunikan. Artinya media diibaratkan sebagai jarum suntik besar yang memiliki kapasitas sebagai perangsang (S) dan menghasilkan tanggapan (R) yang kuat pula.


C. Sosiologi
Hukum sebagai gejala sosial, manusia dari kelahiran sampai meninggal hidup diantara manusia lain, yakni hidup didalam pergaulan dengan manusia lain. Manusia adalah anggota masyarakat, hal ini telah pada jaman kuno dinyatakan oleh seorang ahli filsafat berbanggsa Yunani yang bernama Aristoteles. Katanya manusia itu zoon politicon.
Masing-masing anggota masyarakat itu berkepentingan, ada yang berkepentingan sama tetapi ada juga anggota yang mempunyai kepentingan yang bertentangan. Misalnya, kepentingan penjual dan kepentingan pembeli itu tidak sama, kepentingan penjual itu menerima pembayaran dan kepentingan pembeli ialah penyerahan kepadanya barang yang dibeli.
Pertentangan antara kepentingan manusia itu dapat menimbulkan kekacauan dalam masyarakat, yaitu bilamana dalam masyarakat tidak ada suatu kekuasaan yakni suatu tata tertib yang dapat menyeimbangkan (in evenwicht houden) usaha-usaha yang dilakukan untuk memenuhi kepentingan yang bertentangan tersebut.
Oleh sebab itu, supaya perdamaian terutama perdamaian ekonomis dalam masyarakat tetap terpelihara, maka oleh manusia sendiri (yaitu golongan yang berkepentingan) dibuat petunjuk hidup (levensvoorschriften). Supaya perdamaian masyarakat tetap ada, maka masyarakat memerlukan petunjuk hidup itu, dan petunjuk hidup itu yang biasanya diberikan nama kaidah (norm) terdapat dalam hukum, kebiasaan, adat istiadat, agama dan kesusilaan. Oleh karena masyarakat justru memerlukan petunjuk hidup itu, maka petunjuk hidup itu menjadi suatu gejala sosial.

1. Hasil-Hasil Pemikiran Para Sosiolog

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun