Masyarakat Indonesia dapat dikatakan sebagai masyarakat yang amat mementingkan kehidupan beragama jika dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia.
Survei yang dilaksanakan oleh Gallup menunjukkan  bahwa Indonesia menempati peringkat ke-5 dari 114 negara dalam hal keagamaan.(1) Pada saat yang sama, Indonesia juga menjadi negara dengan minat membaca yang amat rendah. Tingkat literasi negara Indonesia menempati urutan 60 dari 61 negara, setingkat di atas Bostwana.(2)
Keberadaan dua fakta di atas di Indonesia merupakan fenomena yang aneh, mengingat agama sejatinya bersumber dari kitab suci yang tidak bisa dipahami secara instan, melainkan melalui penggalian dengan membaca. Budaya membaca seharusnya menjadi kebutuhan dan kebiasaan bagi seluruh umat beragama di Indonesia jika memang agama dianggap sebagai hal yang penting dan terutama dalam kehidupan.
Kegiatan membaca yang dibahas di sini tentunya bukan sebatas mengeja kata per kata dari sebuah tulisan, melainkan menggali pokok pikiran yang terdapat dalam sebuah bacaan. Budaya membaca yang tidak populer di Indonesia bisa jadi menggambarkan minat masyarakat Indonesia dalam meluangkan waktu untuk mengkaji dan mengkritik sumber bacaan masih cukup rendah.
Di sisi lain, tata hidup yang harus dijalankan oleh umat beragama sebenarnya hanya bersumber dari kitab suci, yang adalah bahan bacaan.
Kitab suci agama adalah satu-satunya sumber sejarah dan tata beragama yang dapat dipertanggungjawabkan. Kitab sucilah yang harus menjadi pedoman utama untuk dibaca, dikaji dan direnungkan dalam mendalami ilmu agama. Tanpa minat membaca yang tinggi, rentan bagi umat beragama untuk melupakan dan membiarkan kitab sucinya berdebu.
Sesungguhnya, yang lebih menakutkan dari kitab suci yang berdebu adalah masyarakat beragama yang akhirnya lebih memilih untuk beragama secara instan.
Instan di sini berarti memilih jalan yang pintas dan mudah untuk dilakukan. Termasuk dalam hal sumber. Minat beragama yang tinggi tanpa didukung minat membaca yang mencukupi dapat mengarahkan umat beragama ke sumber-sumber ajaran agama yang lebih mudah dicerna.
Di era media sosial seperti sekarang, sangat mudah untuk menemukan konten-konten berbau agama yang dapat menjadi sumber instan bagi masyarakat dalam mendalami agamanya. Konten tersebut dapat berupa kutipan video penceramah, artikel-artikel ringan atau bahkan gambar yang berisi kutipan ayat yang disertai kesimpulan singkat mengenai ayat tersebut.
Adanya konten-konten seperti itu di media sosial sesungguhnya bukanlah hal yang buruk. Hanya saja, akan berbahaya bagi umat beragama ketika dalam menjalankan agamanya hanya mengacu pada sumber-sumber instan. Kebiasaan seperti itu nantinya dapat membiasakan umat beragama malas dalam menggali ke sumber asli agamanya, yaitu kitab suci. Yang lebih berbahaya lagi, seorang umat beragama bisa menganggap dirinya sudah paham agamanya hanya dengan mengikuti berbagai akun berbau agama di sosial media.
Berbagai sumber-sumber instan yang umumnya hanya berupa kutipan-kutipan juga dapat meningkatkan risiko perbedaan persepsi dalam masyarakat beragama.