Mohon tunggu...
Frey Immanuel
Frey Immanuel Mohon Tunggu... -

menulis dengan sederhana. \r\n var sc_project=11800296; var sc_invisible=0; var sc_security="c1965a9a"; var scJsHost = (("https:" == document.location.protocol) ? "https://secure." : "http://www."); document.write("");

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Papandayan Trip, Part 4 : Rutin

9 Februari 2016   14:27 Diperbarui: 9 Februari 2016   15:05 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"malam ini hari ketiga saya menulis untuk bagian ke 4 dari petualangan ke Gunung Papandayan, masih mencoba menyesuaikan dengan kebiasaan baru ini, banyak hal-hal yang membuat saya hampir menyerah, terutama gejolak dari raga yang fana ini, #tsahhhh. Saya sudah berhenti menulis satu hari, sulit untuk bisa konsisten, tapi saya masih berusaha, minimal satu tulisan utuh berisi 6 atau 7 episode tentang Papandayan. Kali ini saya menulis dengan sangat tertekan, dari dalam. Internal. Bukan soal hati saja, melainkan perut."

 Pukul 04.00 pagi kurang lebih kita sampai di perhentian gerbang Wisata Alam Gunung Papandayan. Disini biasanya kita di brief mengenai keadaan gunung, dan tidak boleh naik sebelum jam 6 pagi. Disini juga kita akan dikenai biaya masuk, baik orangnya ataupun mobil yang kami bawa. Kemudian Bang Per menandatangani sebuah berkas potokopian, apakah ini pertanda buruk?? seperti yang saya duga, kalo ilang, terbunuh? dimakan babi hutan??? mereka tidak bertanggung jawab?? Babi!!!! benar dugaan saya!

"Kang, nanti sampah-sampahnya tolong dibawa masuk ke dalam, karena ada banyak babi hutan, takutnya digodain ama babi, trus jadian" Si bapak menjelaskan dengan bahasa sunda, saya hanya mencoba menerjemahkan. Saya bukan orang sunda.

Mendengar itu saya merasakan gejolak yang sangan mencekam dari dalam perut saya, dia bergemuruh. Saya berusaha bersikap biasa, tenang, tenang, gunung ini cuma gunung wisata kog. Katanya. Saya meyakinkan diri bahwa saya tidak sedang panik, tidak sedang gugup, tidak sedang sakit. Saya mendengar suara kalbu yang mengingatkan saya akan rutinitas saya.

2004, Juli.

"hosh-hosh-hosh". Bukan suara nafas, itu suara saya menirukan suara nafas, menimbulkan efek dramatis. Juli tahun 2004, masa ini masa yang berat bagi remaja remaja yang lulus SMA pada masa itu, bukan hanya mereka harus meninggalkan sekolah tercinta, melainkan mereka harus menghadapi kenyataan bahwa lulus SMA bukan akhir dari belajar, justru mereka dihadapkan dengan pelajaran realita, alias kenyataan hidup, MATI LOH, TOPIKNYA KALI INI SERIUS.utin

Masa setelah lulus SMA, bukan selalu masa yang menyenangkan bagi sebagian orang. Mereka harus memutuskan bagaimana menjalani hidup mereka sendiri, atau hidup mereka akan bergantung dengan pilihan orang tua. Begitu pula dengan remaja satu ini, dia dihadapkan dengan kenyataan yang kompleks. Pengungumuman Ujian mahasiswa baru perguruan tinggi negeri masih satu bulan lagi, dan inilah satu bulan penderitaan bagi remaja setengah cina, seperempat batak dan seperempat manado ini. Dia harus mempersiapkan diri untuk pilihan lain, MILITER.

Kebetulan opungnya seorang purnawirawan Marinir yang tinggal di desa dekat dengan kompleks angkatan laut di Kotabumi. Karena Eks-militer tentu saja dia mau remaja ini mengikuti jejaknya, walau remaja ini tahu sejak lahir bahwa jiwanya tidak untuk militer. Mustahil juga pikirnya dengan kemalasan dan indisiplin absolut yang menjadi prinsipnya. Karena tuntutan takdir, dan masa suram waktu itu dia mau tidak mau mengikuti saran keluarga, yaitu mencoba masuk militer. TIDAAAAAKKKKKKKKK!

Saya masih berusaha lari walau nafas sudah tersengal. Masa SMA saya memang sudah terbiasa dengan lari jarak jauh, maraton setiap pagi dan menyiksa perut tiap hari. Tapi jalan di sekitar sekolah landai dan mulus, tidak seperti disini, terlalu banyak bukit, jalanan berbatu, hutan, tanah merah. Tidak ada satu bagian pun terlihat bersahabat. Ini penyiksaan. Saya sudah tidak bisa melihat keberadaan sang opung, mata ber kunang-kunang, engsel engsel kaki sudah aus, tenggorokan sudah kaya parutan kelapa. Di sudut tebing terlihat opung ku samar samar membawa sepeda. Penderitaan ini segera berakhir. TUNGGU ada yang aneh, ada mahluk lucu, imut, menggemaskan, menjulurkan lidah, air liur menyembur, tidak, tidak, muka lucunya tiba tiba pudar, semakin dekat, semakin dekat, semakin dekat, itu ANJING! Dia mau makan saya!!!

Dalam hitungan detik, saya berhenti. Mencoba mencari cara untuk menghentikan langkah si anjing. Katanya, anjing itu tidak menggigit, dia cuma mau kenal kita. jangan lari, justru dia akan mengejar. Dia hanya mengejar orang baru, yang dicurigai, yang ia tidak begitu kenal. Orang asing. Oke saya bukan, wait! saya masih asing disini. AAAAAARGGHHHH!!! Manusia itu ciptaan yang paling cepat beradaptasi dengan lingkungannya, daya survival tinggi. Jarak anjing hanya 10 meter. Jantung dengan cepat memompa darah saya sampai ke otak, ribuan kode kode lewat di pikiran saya, ribuan jalan pun tidak membantu, satu satunya cara. LARI. SAMPAI. RUMAH.

Oke, lima pargaraf di atas tidak ada hubungannya dengan cerita saya. Masalah utamanya ada di paragraf ini. Selama mendapatkan pelatihan militer dari opung sendiri, saya juga diberi PUP. Pelatihan Urusan Perut. Saya harus makan sampai selesai dalam dua setengah menit persis, atau saya harus makan sambil push-up, percayalah, masa-masa ini perut saya rata. Dalam pelatihan juga saya di ajarkan untuk tidak berlama - lama bersemedi dan ber-imajinasi di WC. Oke, dalam hal ini saya punya MASALAH.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun