"brai kita jemput bang Per dulu di Jonggol! abis tu balik lagi ambil tas kita ke kantor!"
"knapa bolak balik?"
"soalnya jalannya lewat sini lagi, kalo lewat jonggol susah jalannya, brai, mager gw"
Saat ini saya dan Aldo sudah jalan muterin depan lobby kantor menuju gerbang.
"perjalanan makan waktu kurang lebih satu jam ke jonggol, bolak balik 2 jam, dan kita harus pack semua tas dan jemput tim lagi di kantor, berasa ribet. gimana kalo kita sekalian pack barang di mobil, bareng sekalian berangkatnya, perkara nanti setelah jemput bang Per."
"cuma ada 2 orang jg belom dateng"
"paling cuma 5-10 menit lg nunggunya"
"gitu ye, brai?"
"iyalah"
Kemudian kita berhenti di depan lobby setelah berputar mengelilingi taman tujuh putaran. Taman itu runtuh.
Setelah semua barang dan ransel masuk, kita mulai jalan, menjemput wanita wanita perkasa yang ikut bergabung. Wanita wanita ini sih biasa aja, yang luar biasa adalah ternyata mereka juga percaya bahwa gunung Papandayan adalah gunung wisata, KATANYA.
Tapi diantara mereka wanita ini, ada satu wajah yang asing. Dengan carrier 70 liternya dilapisi dengan waterproof bag warna kuning nyentreng. Dia mahluk asing. Parasnya menunjukkan dia bukan dari generasi muka kotak, juga bukan dari generasi porselen, bukan juga albino. Dia tampak seperti penduduk kebanyakan, berbaur dengan masyarakat sekitar. Dari penampilannya yang sederhana terlihat dia bukan tipe wanita yang suka berlama lama di dalam gedung ber ac yang dipenuhi dengan tulisan tulisan "diskon", ASUMSINYA. Sepertinya diantara kami semua di dalam mobil, dia satu satunya yang terlihat siap mendaki. Dilihat dari kemeja flanel nya dan celana model gunung, tampaknya dia berpengalaman. Namanya WINDA.
Winda berasal dari pabrik sebelah, teman salah satu rekan. awalnya dia terlihat bersemangat, mungkin menuju Papandayan merupakan hasrat terpendamnya. Senyumanya lebar, seperti Joker tanpa make-up. Entah dia benar benar tulus tersenyum atau dia mau makan kepala bayi, saya tidak bisa membedakan.
----"Ngomongin soal Winda saya jadi ngantuk, entah karena tidak begitu mengenalnya atau, suasana menulis saat ini kurang mendukung, saya rindu bantal"---- intermezo
Kita satu mobil dengan Winda. Setelah menjemput bang Per, kita sedikit demi sedikit ngulik tentang siapa Winda ini. Saya tidak bisa berkonsentrasi, karena lelah ditambah dengan reaksi BAB yang ditahan. Saya lupa siapa dia sebenarnya walau kami satu mobil, yang saya tau, dia nyambung sama bang Per, berbicara istilah istilah yang hanya orang gunung yang tau. Intinya, Winda ini berpengalaman dalam mendaki. Minimal, dalam satu mobil ini ada dua orang yang paham betul kondisi di gunung 'wisata' itu. Mereka berdua bisa di andalkan dalam situasi sulit, setidaknya itu aja yang saya perlu tau.
Apakah Winda benar benar bisa di andalkan? Apakah ada kisah selanjutnya antara Winda dan seseorang?? Apakah tulisan tentang Winda satu artikel khusus ini penting??? Tunggu aja kisah selanjutnya. Saya lelah. Tidak ada ide menulis untuk Winda.
"sorry ya Win! ini demi jon!!! dia yang request"
Kendaraan pun melaju menuju meeting point pertama Tol Pasteur. Di jalan saya tidak bisa tidur, bukan karena mikirin mungkin aja Winda ini mata-mata, bukan juga mikirin sulitnya medan dakian. Hanya dua hal yang mengganggu pikiran dan imaji saya waktu itu, nahan BAB beserta gas-gas nya dan mencoba menyembunyikan bantal yang nempel di perut sixpack saya ini. Setelah beristirahat sejenak kami melanjutkan perjalanan kami ke Garut.
Ternyata ke gunung Papandayan tidak semudah itu, dua kendaraan sempat nyasar. Hanya kendaraan yang kita tumpangi yang mengenal medan dengan baik. Tidak disadari hari sudah berganti, malam berganti pagi. Suasana masih gelap, salah satu rombongan konvoi kami nyasar, kami terpaksa berhenti. Berkoordinasi dan menunggu di pinggir jalan di kaki gunung. Matahari pun masih belum berani menyinari. Dingin malam itu mulai terasa kuat menusuk tubuh. Apalagi ketika saya dengan kerennya menginjakkan kaki tanpa alas ke aspal. Seperti berjalan di atas es (kampungan!)
Diluar saya dan beberapa teman menikmati segarnya udara malam itu, Winda juga ikut keluar dari mobil. Saya melihat betapa terang bulan malam itu ditemani dengan bintang bintang, di kota sulit sekali melihat langit sejernih ini. Dari mobil yang satunya, keluar seorang pemuda berbadan gelap, tinggi badan nanggung, berpakaian ala-ala pendaki gunung pro, pake kain bandana, dengan tampang kaku dan SKSD (sok kenal sok dekat) mendekati tempat kami berdiri di pinggir jalan itu.
Winda dan Jon bertemu, tiba tiba mereka merasakan kehangatan. Udara sedikit hangat saat itu. ini pertama kalinya mereka bertemu muka. Saya menjauh, menyadari bahwa ada yang aneh disitu. Dalam dinginnya malam, saya memberikan mereka berdua kehangatan, saya sudah tidak tahan. Saya juga ingin berbagi kebahagiaan kepada mereka, dalam bentuk angin hangat. Hanya Winda dan Jon yang bisa merasakannya. Sekali lagi saya, MENJAUH.
Winda, kamu siapa sih??
-bersambung-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H