Mohon tunggu...
Fret Derau
Fret Derau Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Writer

Menulis untuk berbagi derau

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Anak Kerbau

9 Januari 2020   05:06 Diperbarui: 9 Januari 2020   05:09 643
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namun hidup tak dapat ditebak, Eben meninggal tiga bulan lalu di jalan lintas antar kota. Kejadiannya sepele, hanya karena sopir mengantuk yang terlalu ke pinggir. Di sini kami memang tak mengenal trotoar, pejalan kaki menggunakan bagian tepi badan jalan yang sama dengan kendaraan bermotor.  Cuma saling mengharapkan pengertian. Segera keluarga itu tergoncang. Baik dari sisi mental maupun ekonomi, karena semua penghasilan keluarga selama ini hanya berasal dari sang bapak semata.

Memasuki bulan ketiga, persediaan uang dari sumbangan belasungkawa kerabat dan tetangga menyusut dengan cepat. Mamak Maston masih bingung harus mencari uang dengan cara apa. Tanpa uang kiriman dari kampung, Maston pun harus meninggalkan Kota Medan dan mengubur dalam-dalam impiannya menjadi sarjana. Melepas ritme kehidupan metropolitan yang mulai diakrabinya hampir setahun. Meninggalkan semua teman-teman di kampus birunya tercinta. Tampaknya ia belum siap menerima itu semua.

Dua minggu setelah kepulangannya ke kampung aku dirundung gundah. Aku juga tak terima kenyataan pahit itu harus ditelan Maston di usianya yang masih labil, apalagi ia anak seorang teman lama. Setiap hari pikiranku terganggu melihat keluarga murung yang tinggal hanya beberapa rumah dari gubuk kami itu. Aku selalu berpikir bahwa aku harus berbuat sesuatu, meski sesungguhnya tidak tahu bagaimana.

Satu malam sehabis makan, aku dan istriku duduk bersantai di ruang makan---yang sekaligus ruang tamu kami. Aku di sofa satu-satunya milik kami, lalu istriku seperti biasa merajut benang-benang wol di kursi makan.

"Mak... Kalo kuingat dulu baiknya si Eben sama aku..." Kalimatku terputus, seperti tak mampu kuceritakan semua kebaikan bapaknya Si Maston itu kepadaku. Setelah beberapa saat terhenti, aku bisa menyambung lagi, "Kurasa, kalo gak ada dia, kita gak bisa kayak gini sekarang."

Istriku diam saja sambil merajut.

"Dia dari dulu sering nolong aku," kataku lagi. "Mulai dari tugas sekolah, hingga mengerjakan sawah. Kau tau kan? Aku dulu gak ada apa-apa. Sekolah enggak jelas, mau bertani pun sawah tak punya, ternak pun tak ada."

"Kalau gak dikasinya aku anak kerbau waktu kita kawin dulu, enggak punya ternak kita seperti sekarang."

Tanpa menoleh, istriku menanggapi, "Kasian ya, Pak. Orang baik itu sering kali cepat mati. Padahal kalo si Maston itu berhasil, kan bisa membantu adek-adeknya."

"Enggak kau liat Si Maston itu kayak apa sekarang?" tanyaku. "Oooh, Kayak linglung-linglung dia. Kasian, bah... Kasian. Lewat pun orang di depannya enggak peduli lagi dia," kataku menggeleng-geleng dengan penuh iba.

"Iya, ya... Udah lain memang kuliat dia sekarang." Istriku mengamini. "Nggak seperti yang dulu, ya kan?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun