"Kasian juga aku liatnya, Mak." ujarku.
Istriku tak menyahut. Ia asyik mengaduk nasi dalam periuk. Daguku terangkat tinggi, kepalaku bersandar ke daun pintu rumah kami yang terbuka. Di lantai semen yang kasar aku duduk sambil menerawang ke lembaran seng-seng berkarat yang langsung jadi langit-langit rumah kami.
Beberapa menit, kami berdua hanya terdiam. Akhirnya istriku berbicara "Apalah yang mau kita buat, Pak?"
Sekarang dia sibuk mondar-mandir, entah apa yang dikerjakannya, di dapur, di kamar mandi dan sesekali keluar rumah lalu masuk lagi.
"Aku pun kasian juganya," katanya setelah kembali ke dalam rumah. "Itulah hidup ini... Tak seindah rencana kita."
"Enggak kau tengok, Mak? Macam orang stres kutengok dia sekarang," kataku lagi.
"Yah, memang udah streslah dia itu. Bukan 'macam' lagi," tukas istriku.
"Iya, maksudku stres kayak orang gila." Aku mengoreksi ucapanku.
"Iyalah. Siapa yang nggak stres, bapaknya ninggal, gak ada uang, trus putus sekolah pula," sambar istriku.
Pikiranku melayang-layang. Sebentar membayangkan perasaan yang sedang dialami si Maston---sosok yang sedang kami bicarakan, sesaat kemudian mengenang bapaknya---si Eben---yang merupakan teman baikku. Bayangan yang terakhir diselingi cuplikan-cuplikan kisah masa lalu kami. Aku bisa memaklumi perasaan bangga dan penuh angan-angan yang dialami anak sulung Eben itu ketika pertama kali menginjakkan kaki di perguruan tinggi negeri di Medan, kota besar yang letaknya jauh dari kampung kami. Bapaknya pun bangga sekali saat itu. Harapannya semakin besar diletakkan di bahu Maston yang tengah bersiap menjadi tulang punggung keluarga kelak.