Mohon tunggu...
Fresty Sadelta
Fresty Sadelta Mohon Tunggu... Akuntan - Saya Mahasiswi Universitas Pamulang

.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Analisis Kasus Korupsi Gas Bumi Sumatra Selatan 2010 - 2019

31 Desember 2024   12:00 Diperbarui: 31 Desember 2024   11:59 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Mantan Gubernur Sumatera Selatan (Sumsel), Alex Noerdin ditetapkan sebagai tersangka korupsi pembelian gas bumi oleh BUMD Perusahaan Daerah Pertambangan dan Energi (PDPDE) Sumsel periode 2010-2019.

Berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kasus ini diduga merugikan keuangan negara sebesar US$30 juta atau sekitar Rp426,4 miliar.

Jumlah ini berasal dari hasil penerimaan penjualan gas dikurangi biaya operasional selama kurun 2010-2019, yang mana seharusnya diterima oleh PDPDE Sumsel.

Lalu, juga tercatat kerugian negara sebesar US$63.750 dan Rp2.131.250.000 yang merupakan setoran modal yang tidak seharusnya dibayarkan oleh PDPDE Sumsel.

Adapun kronologi penyimpangan kasus tersebut.

Kasus dugaan korupsi ini berawal saat Pemprov Sumsel memperoleh alokasi untuk membeli gas bumi bagian negara dari JOB PT Pertamina, Talisman Ltd, Pasific Oil and Gas Ltd, Jambi Merang (JOB Jambi Merang) sebesar 15 Juta Standar Kaki Kubik per Hari (MMSCFD).

Hal tersebut berdasarkan pada keputusan Badan Pengelola Minyak dan Gas (BP Migas) atas permintaan Alex selaku Gubernur Sumsel kala itu. Setelah itu, BP Migas menunjuk BUMD PDPDE Sumsel sebagai pembeli gas bumi. Namun, PDPDE berdalih tak memiliki pengalaman teknis dan dana.

PDPDE Sumsel kemudian bekerja sama dengan investor swasta yakni PT Dika Karya Lintas Nusa dengan membentuk perusahaan patungan PT PDPDE Gas.

Perjanjian kerja sama ini ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman antara Caca selaku Direktur Utama PDPDE Sumsel dengan Muddai selaku pemilik dari PT DKLN pada 2 Desember 2009.

Akan tetapi, penandatanganan ini dianggap tidak sah karena tanpa disertai izin prinsip dari Gubernur Sumatera Selatan, Alex Noerdin. Persetujuan izin prinsip tentang pembentukan PDPDE Gas baru dikeluarkan pada 16 Desember 2009 dengan komposisi kepemilikan saham 15 persen untuk PDPDE Sumsel dan 85 persen untuk PT DKLN.

Hanya saja, penentuan komposisi tersebut tanpa melalui studi kelayakan, analisis, dan pertimbangan dari Badan Pengawas Perusahaan Daerah Provinsi Sumatera Selatan. Keesokan harinya, penandatanganan perjanjian kerja sama antara PDPDE dan PT DKLN untuk membentuk PDPDE Gas pun digelar kembali, kali ini dengan disertai izin prinsip.

Namun, izin prinsip yang dikeluarkan berbeda dengan nota kesepahaman yang sudah disepakati sebelumnya. Perubahan itu terlihat pada pemberian setoran modal. Semula, pembentukan PDPDE Gas akan dibiayai sepenuhnya oleh PT DKLN. Kenyataannya, setoran modal akan disesuaikan dengan kepemilikan saham. Kondisi ini tentu merugikan PDPDE Gas.

Dalam kasus ini, tersangka CISS selaku Direktur Utama PDPDE Sumsel telah menandatangani perjanjian kerjasama antara PDPDE Sumsel dengan PT DKLN.

Sedangkan tersangka AYH menjabat Direktur PT. DKLN sejak 2009 dan juga merangkap sebagai Direktur PT. PDPDE Gas sejak 2009 dan juga Direktur Utama PDPDE Sumsel sejak 2014.

Kemudian, untuk tersangka MM yang merupakan Direktur PT. DKLN merangkap Komisaris Utama dan Direktur PT. PDPDE Gas menerima pembayaran yang tidak sah berupa fee marketing dari PT. PDPDE Gas.

Sedangkan tersangka AN selaku Gubernur Sumatera Selatan periode 2008-2013 dan periode 2013-2018 yang melakukan permintaan alokasi gas bagian negara dari BPMIGAS untuk PDPDE Sumsel menyetujui dilakukan kerjasama antara PDPDE Sumsel dengan PT. DKLN membentuk PT. PDPDE Gas dengan maksud menggunakan PDPDE Sumsel untuk mendapatkan alokasi gas bagian negara.

Akibat perbuatanya, tersangka diancam Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Subsidiair Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Terdakwa Alex Noerdin dengan hukuman pidana penjara selama 12 tahun dengan denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan penjara.

Pelanggaran etika bisnis yang dilakukan oleh Alex Noerdin diantaranya, 

1. Penyalahgunaan Kekuasaan, Alex Noerdin diduga memanfaatkan posisinya sebagai Gubernur untuk menguntungkan diri sendiri dan kroninya.

2. Kurangnya Integritas: Perilaku Alex Noerdin menunjukkan kurangnya integritas dan etika dalam menjalankan tugasnya sebagai pemimpin.

3. Ketidaktransparanan: Kasus ini menunjukkan kurangnya transparansi dalam pengelolaan PDPDE Sumsel.

Kasus dugaan korupsi PDPDE Gas Sumsel merupakan contoh nyata bagaimana korupsi dapat merugikan perekonomian daerah dan nasional. Kasus ini menjadi pelajaran penting bagi semua pihak untuk meningkatkan tata kelola pemerintahan, membangun integritas, dan menegakkan hukum secara tegas. Dengan demikian, potensi ekonomi Sumatera Selatan dapat dikembangkan secara optimal dan berkelanjutan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun