Pendahuluan
Perkembangan modernisasi yang tengah kita hadapi saat ini mengalami dinamika yang begitu cepat dan luar biasa. Segala sesuatu yang tidak mungkin, pada era ini diwujudkan menjadi mungkin. Dengan peran dan keterlibatan teknologi dalam memberikan keefektifan serta keefisienan seluruh aktivitas manusia, seolah tidak ada titik puasnya. Hal ini bisa dilihat dalam fenomena dromologi yang tengah kita hadapi saat ini. Dimana dromologi sendiri adalah kondisi dimana kecepatan dan percepatan menjadi inti dari seluruh proses kehidupan baik di tingkat ekonomi, sosial, budaya hingga politik. Â Bahkan, dari konsep kecepatan itu sendiri merupakan acuan dari sebuah kemajuan baik secara sosial maupun bagi pelaku dromologi itu sendiri.
Menurut Michel Foucault ( 1926-1984), kekuasaan merupakan representasi dari pengetahuan. Yang berarti bahwa terdapat interaksi antara keduanya. Pengetahuan dipengaruhi oleh kekuasaan dan sebaliknya. Namun dalam fenomena dromologi yang terjadi saat ini adalah knowledge is power saja tidak cukup karena sudah mengalami perluasan makna, sehingga harus ditambah dengan konsep perluasan. Sementara generasi milenial menyebutnya dengan istilah kekinian sehingga dalam konsep Foucault disebut dengan power is speeding knowledge.Â
Bentuknya ialah pemanfaatan teknologi di era digital ini yang sudah menjadi kebutuhan utama manusia, khususnya generasi X, Y, Z hingga Alpha. Dengan kemudahan yang dimiliki, seluruh aktivitas milenial sangat tergantung dengan digital tersebut. Laju perkembangan spat-kapitalisme, udaya postmodern, hingga teknologi cyberspace ini telah membawa masyarakat dalam beragam arus yang hipercepat. Misalnya, pada bidang ekonomi, salah satu fenomena yang paling populer dan dirasakan sebagian besar kaum milenial adalah berupa transaksi digitalnya. Dimana seluruh transaksi dan aktivitas ekonomi dilakukan hanya dengan satu genggaman. Tidak ada transaksi tunai, semuanya dilakukan secara cashless. Bahkan keberadaan  Anjungan Tunai Mandiri ( ATM ) pun sudah mulai tergeser dan semakin jarang ditemui sebagai fasilitas publik yang digemari. Dari belanja, transfer bahkan kredit pun dilakukan secara digital atau yang lebih dikenal dengan e money ataupun e comerce.Â
E-comerce sendiri merupakan fenomena sosial dan ekonomi dari kemunculan pasar digital. Herbert Marcuse menyebutnya dengan istilah spat-kapitalismus atau kapitalisme lanjut. Dimana situasi ini sekilas nampak baik dan memesona, merangkul semua lapisan masyarakat terutama kelas pekerja, namun tanpa disadari maksud tersembunyi yang ada dibelakanganya. [1] spat-kapitalismus sendiri dasarnya hanya berorientasi pada kepentingan serta keuntungan pihak kapitalis sendiri dengan memanfaatkan teknologi digital, dan tidak mengutamakan kepentingan kelas pekerja atau pengguna dari e-comerce itu sendiri. Â Tehnik yang dilakukan spat- kapitalismus adalah berupaya mengurangi ketegangan pertentangan kelas saja, serta membuat para proletar merasa aman dan sejahtera dalam naungan kepitalisme.Â
Dalam konteks percepatan tersebut kelas pekerja atau masyarakat awam seolah dibius dan tidak sadar, bahwa cara-cara halus yang dilakukan oleh spat-kapitalismus dipopulerkan untuk meredam pergerakan mereka. Marcuse menyebutnya dengan  desublimasi represi.[2] Masyarakat  dilibatkan dalam lanskap komoditas dan upah serta harga,  keuntungan, promo hingga bonus dari top up saldo hingga koin yang dikumpulkan dari pembelian. Akibatnya masyarakat merasa puas ketika selera ( appetites ) dan keinginan (desires) diatur serta dikendalikan oleh kapitalis.  Kemajuan dan peningkatan pengguna internet merupakan tambang emas untuk kapitalis ini. Produk tambang emas mereka dapat kita lihat dalam go jek, shoope, lazada, tokopedia, dana, grab, sociolla dan masih banyak yang lain.
Â
Tingginya mengakses informasi melalui internet sangat berimbas terhadap transaksi keuangan serta jual beli, dimana dalam prosesnya masyarakat tidak perlu lagi melakukannya melalui pasar fisik namun dengan cukup mengunjungi pasar digital saja. Hal inilah yang menjadi penyebab menjamur dan berkembanganya toko-toko  dan jasa online di Indonesia. Milenial cukup berselancar di dunia maya untuk melakukan aktivitas jual beli dan transaksi uang. Misalnya saja Gojek, aplikasi tersebut memiliki beberapa fitur menarik dalam memanjakan customer. Diantaranya dengan adanya fitur gojek untuk memudahkan transportasi, gopay untuk dompet digital, gosend, gogive, gotik sarta yang lain. Bahkan hal tersebut juga diimbangi oleh e commerce yang lain.
Â
Lebih jauh lagi, shopee seringkali memberikan tawaran menarik hampir di setiap bulannya dan tergolong tawaran yang sangat luar biasa bagi konsumennya yang didominasi oleh masyarakat kelas menengah. Misalkan dengan penawaran 9.9, 10.10 hingga 12.12 super flash sale shopping day. Jika dilihat dari fenomena ini inilah yang disebut sebagai wujud dromologi, percepatan waktu. Bagi kapitalisme global, menaklukkan ruang dan waktu adalah hal yang wajib dilakukan yang merupakan dari penerapan prinsip instanisasi. [3]Instanisasi mengacu pada kecenderungan masyarakat modern untuk menginginkan dan mengharapkan hasil serta pemenuhan kebutuhan secara cepat dan segera. Dalam konteks kapitalisme global, penerapan prinsip instanisasi memiliki dampak signifikan dalam upaya menaklukkan ruang dan waktu.
Â
Dengan ketergantungan masyarakat milenial terhadap teknologi, akan semakin membangun mitos bahwa segala keinginan akan terpenuhi sehingga akan menghibur serta membangun,mendidik serta mendorong untuk semakin konsumtif dengan promo dan tawaran menarik yang diberikan oleh e commerce tersebut. Karena mereka berprinsip bahwa penawaran dan pembelian pertama adalah kesan terbaik dan menarik untuk customernya. Karena jika tidak demikian, customer akan beralih ke penyedia jasa lain yang tentunya dengan penawaran yang lebih baik.  Ecommerce sendiri merupakan industri yang paling cepat dan diminati oleh milenial dan terus akan berkembang untuk mewujudkan mimpi dari masyarakat itu sendiri.
Â
Saat ini yang paling berjasa dalam perubahan sosial yang tengah dialami masyarakat ialah komunikasi dan telekomunikasi. Hingga tanpa sadar naluri konsumsinya dikendalikan oleh kapitalis. Hingga melahirkan Paradigma konsumtivisme yang akhirnya mengakibatkan masyarakat terjebak  dalam satu dimensi. [4] Konsumtivisme yang menjadi trend paradigma pada masyarakat millennial ini  secara aktif memberi makna tentang hidup melalui mengkonsumsi material. Bahkan, ideologi tersebut mendasari rasionalitas masyarakat milenial saat ini.  Implikasinya, segala sesuatu yang dipikirkan atau dilakukan diukur dengan perhitungan material atau bersifat untung dan rugi .
Â
 Ideologi Konsumtif tersebut tersebut jugalah yang membuat orang seorang yang workaholic atau gila kerja tanpa memikirkan keterbatasan waktu dan tenaga. Mereka mencari penghasilan serta  mengumpulkan modal untuk bisa melakukan konsumsi yang bersifat hedon.  Tentunya Perilaku konsumtif ini menyebabkan krisis konseptualisasi dan representasi. Dalam konteks yang cukup serius ini dromologi dalam paradigma konsumerisme ini tidak hanya membentuk mindset personal, namun mempengaruhi politik dan budaya.  Paradigma inilah yang perlu dikontrol agar tidak berlebihan. Idealnya, masyarakat terutama milenial seharusnya harus bisa menentukan secara mandiri dan cerdas untuk mencukupi kebutuhan dengan daya dukung finansial mereka sendiri agar terhindar dari kondisi besar pasak daripada tiang.
Â
Konsumtivisme dikritik keras oleh para anggota mazhab Frankfurt, salah satunya Herbert Marcuse. Seperti yang telah dipaparkan di atas, bahwa persepsi Marcuse terhadap  konsumtivisme tampil dengan wajah yang halus guna memikat masyarakat, kemudian  mengarahkan pada pola pemikiran satu dimensi. Pada perspektif Teori Kritis Sekolah Frankfurt, khususnya Teori Kritis tulisan Herbert Marcuse tentang masyarakat satu dimensi, berupaya memahami dan menjelaskan mengapa konsumtivisme yang tiada habisnya masih juga berlangsung. Rakyat kecil menderita, sementara sebagian masyarakat lainnya sibuk memuaskan dirinya dengan kelimpahan materi dan fasilitas layanan yang memanjakan tubuhnya dan egonya. Kondisi inilah yang tengah terjadi pada masyarakat generasi X, Y, Z di Indonesia.
Â
Oleh karena itu, tulisan ini mencoba untuk membongkar topeng dibalik dromologi dalam ecommerce. Dengan menggunakan perspektif kritis Herbert Marcuse, mencoba mengungkapkan kesadaran palsu yang nampak dalam dunia materi, dengan semakin populernya konsumerisme. Teori kritis tersebut akan membantu kita untuk memahami kesadaran sosial, membangun rasional instrumental, serta menjelaskan kondisi-kondisi yang irasional. Dan juga mampu menjelaskan langkah-langkah praktis apa saja yang sekiranya dapat diambil secara bijak oleh masyarakat milenial yang notabene sebagai agent of change.
Peran Dromologi E-Commerce dalam Spat Kapitalismus
Sebagai sebuah fenomena, dromologi merupakan wujud dari knowledge is power yang telah berhasil mengendalikan seluruh aktivitas hingga kesadaran dari masyarakat milenial itu sendiri. Hal ini dapat terlihat dalam pemanfaatan teknologi informasi oleh milenial  tidak dapat terelakkan lagi, hal ini ditandai dengan aktivitas sosial ekonomi yang diwadahi oleh e commerce selevel shopee, go jek, grab,  lazada, tokopedia, dana dan yang lainnya.  Dengan segala penawaran dan kemudahan yang ditawarkan  oleh e commerce,  dalam promo penjualan hingga bonus dari top up  saldo hingga koin yang dikumpulkan dari pembelian.  Hal ini berakibat pada rasa puas ketika selera ( appetites ) dan keinginan (desires) diatur serta dikendalikan oleh kapitalis yang tanpa disadari oleh para milenial.
Dromologi dalam e commerce merupakan salah satu dari  kelicikan kapitalisme di era milenial. Setelah Perang Dunia Kedua selesai, kapitalisme bertransformasi dari awalnya yang selalu meredam pergerakan kelas pekerja secara represif, menjadi lebih humanis kepada kelas pekerja dengan cara memberikan tunjangan, bonus gaji, serta jaminan kesehatan.  Dimana kelas bekerja tetap dikondisikan tetap bekerja dan dieksploitasi dan hasilnya tetap kembali kepada kapitalis. Hal ini dimulai dengan membangun kesadaran rasional yaitu dengan menumbuhkan paradigma konsumtivistis dan hedonis kepada para kelas pekerja.
Kelas pekerja  atau masyarakat millennial juga diberi akses untuk menikmati apa yang biasanya hanya bisa dinikmati oleh kalangan borjuis seperti produk mewah, hiburan, serta gaya hidup ala borjuis. Hal inilah yang pada akhirnya melahirkan krisis konseptualisasi dan representasi. Dengan publikasi melalui media massa, tayangan yang dikemas menggoda dari promosi produk e commerce yang terus-menerus terbukti ampuh untuk mengkonstruksi realitas terhadap standar hidup para milenial. Dimana standar hidup milenial sudah di konstruk untuk berkiblat pada lifestyle kaum borjuis.
Platform e-commerce menawarkan berbagai penawaran, bonus, dan kemudahan, yang pada akhirnya mengarah pada kepuasan milenial. Namun,  ada kontrol yang dipegang oleh kapitalis. Strategi promosi dan manajemen penawaran dapat membentuk perilaku konsumen sesuai dengan arah yang diinginkan oleh perusahaan.teknologi dan ekonomi digital memberikan kapitalis kemampuan untuk mengatur dan mengarahkan selera serta keinginan konsumen. Kemampuan untuk menyajikan produk dengan cepat dan menawarkan insentif mengubah cara konsumen melihat dan merasakan kepuasan.sikap kritis terhadap dampak dromologi. Konsumen, terutama millennial, perlu menyadari bagaimana pengaruh teknologi, promosi, dan penawaran mempengaruhi pilihan mereka serta apakah mereka secara sadar atau tidak terlibat dalam pengendalian ini. Dalam konteks ini, literasi digital dan literasi konsumen sangat penting. Semakin masyarakat memahami cara platform digital dan ekonomi e-commerce beroperasi, semakin mereka mampu membuat pilihan yang lebih sadar.
Pengaruh Konsumtivisme  Terhadap Masyarakat Satu Dimensi
Dari pengaruh kuatnya terhadap rasionalitas dalam bentuk pilihan lifestyle terhadap kaum milenial melalui peran media massa, sehingga mampu mengkonstruksi kaum milenial untuk berkiblat terhadap life style  kaum borjuis. Dalam perspektif dimensi spat kapitalismus Marcuse, dikatakan bahwa ini merupakan cara untuk menindas serta pembunuhan secara halus dari salah satu dimensi masyarakat. Yaitu masyarakat satu dimensi. Melalui iklan yang disampaikan oleh media, masyarakat dihipnotis sehingga tanpa disadari mereka tergiring untuk menyetujui dan menerima realitas gaya hidup dari ecommerce ini untuk tetap stabil tanpa ada keinginan dan kesadaran untuk memberontak ataupun menolak.  Sehingga, pilihan rasional mereka akan dijatuhkan pada penerimaan terhadap unsur spat-kapitalismus. Dan disana mereka tidak memiliki daya kritis apapun, menerima seolah pilihan ini adalah yang terbaik dan menguntungkan bagi kehidupan mereka.
Berdasarkan perspektif  Marcuse,[1] mengenai masyarakat satu dimensi, masyarakat  milenial saat ini sedang mengalami penindasan yang tidak lagi dilakukan oleh kelompok borjuis, atau golongan satu terhadap golongan yang lainnya. Melainkan terdapat satu big power yang mengendalikan seluruh realitas termasuk kesadaran yang mereka  miliki. Sistem yang diperkenalkan e-commerce secara cepat memperkenalkan dan menonjolkan dirinya ke hadapan publik dan sudah berhasil menjadi bagian keseharian dari kehidupan masyarakat. Dalam konteks ini, jelas sekali yang terjadi ialah kepasifan serta sikap yang reseptif, tidak lagi kritis dan masa bodoh dengan perubahan yang ada. Jika melihat realitas disekitar kita, hampir seluruh masyarakat milenial memiliki aplikasi shopee, go jek, grab,  lazada, tokopedia, dana dan yang lainnya. Baik hanya untuk referensi belanja, membeli barang kebutuhan, pembayaran atau hanya untuk sekedar update produk atau informasi apa yang sedang booming  saat ini.Â
Â
Menurut Marcuse, terdapat hasrat yang selalu merasakan kekurangan (Lebensnot) serta ketidakpuasan. Inilah yang terjadi dalam  realitas kehidupan masyarakat milenial saat ini. Dimana  milenial sebagai partisipan aktif dromologi ecommerce, yang berjiwa konsumtif serta memiliki krisis representasi. Kebutuhan pokok bukan lagi hal yang utama, serta dinilai tidak lagi cukup untuk memberikan kepuasan dan kebanggaan , karena didalamnya sudah termasuk paradigma top up, shop and pay.Â
 Â
Penutup
Â
Dromologi sebagai konsekuensi dari modernisasi di bidang teknologi dan komunikasi ternyata mampu menciptakan paradigma baru mengenai lifestyle serta kesadaran palsu terhadap masyarakat milenial yang notabene didominasi oleh kelas pekerja. Dengan berbagai penawaran melalui iklan media, mampu membentuk karakter konsumtif dan hedonis pada masyarakat millenial. Dimana pada realitas ini  Kebutuhan pokok bukan lagi hal yang utama, serta dinilai tidak lagi cukup untuk memberikan kepuasan dan kebanggaan , karena didalamnya sudah termasuk paradigma top up, shop and pay.Â
Â
Konsumtivisme yang tengah menjadi life style masyarakat milenial dalam satu dimensi yang dikritisi oleh Marcuse,  pada dasarnya realitas ini merupakan suatu bentuk  kesadaran palsu, yang ditampakkan oleh dunia materi yang konsumtif. Yang tentunya hal ini mampu menggerakan rasionalitas pada masyarakat millenial, bahkan semakin memperkuat individualisme tanpa mampu menyesuaikan dengan kondisi sekitar yang sebenarnya banyak golongan yang membutuhkan bantuan kita.
Â
Di sini, masyarakat diharapkan tidak terjebak dalam kebutuhan palsu tersebut. Dengan kesadaran palsu tersebut, gaya hidup konsumtif  masyarakat generasi X, Y, Z dan Alpha menjadi sulit terkendali bila tidak mampu memfilter dan mengendalikan  diri untuk tidak mudah tergoda dan terhipnotis oleh pengaruh yang disampaikan melalui media dalam bentuk iklan. Media yang menjelma sebagai platform e commerce bisa digunakan secara bijak tanpa menghilangkan identitas kita sebagai millenial Indonesia yang tangguh dan survive di era post industri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H