Pandemi Covid-19 telah merenggut jutaan nyawa manusia. Tenaga kesehatan dan medis, sebagai perawat kesehatan manusia, turut korban. Himbauan agar taat protokol kesehatan dilakukan terus-menerus dengan berbagai cara dan oleh berbagai pihak. Namun saat ini, korban terus meningkat jumlahnya. Khusus di NTT ini, hampir setiap hari kuping kita disuguhkan dengan bunyi sirene-ambulance.
Lantas kita bertanya, adakah yang salah? Mari kita bertolak dari realitas yang terjadi :
Masih terdapat begitu banyak orang tidak mengenakan masker saat keluar dari rumah atau bepergian. Kontak fisik masih terjadi. Perkumpulan tanpa jaga jarak, masih terjadi. Akses pasar terbuka lebar, tanpa jaga jarak sama sekali. Pro-kontra antara keluarga dan pihak kesehatan terkait dengan status pasien covid atau tidak, masih saja terjadi.Â
Tentu, semuanya adalah masalah. Dan bagaimana kita bersikap? Saya yakin, masing-masing kita tahu caranya. Dan harus tahu, karena ini berkaitan dengan hidup atau mati.
Terkait dengan mau swab atau tidak, muncul persoalan serius, yang kini berkembang di tengah masyarakat. Masyarakat takut, nanti sakit dan kematian mereka dicovidkan. Apa benar? Siapa bisa membuktikan bahwa tindakan itu benar dilakukan? Saya tidak yakin, hanya kecuali, kalau nanti ada pihak yang membuktikan itu.
Lalu apa masalahnya? Mengapa masyarakat takut ke rumah sakit untuk swab?
Saya mengikuti sejak awal sosialisasi  tentang bagaimana covid-19 ini menyebar. Menurut hemat saya, ada  "alibi" media dalam memberitakan penyebaran virus corona. Â
Pola penyebaran virus ini terlalu ditampilkan ibarat bang jago, yang lebih cepat angin taufan beraksi secepat detik dalam menyerang dan merenggut nyawa pasien. Akibatnya, menimbulkan ketakutan yang maha dahsyat.Â
Masyarakat akhirnya lebih takut dan takut sekali, daripada waspada. Masyarakat lebih takut terhadap cara menyebar yang disampaikan atau diberitakan, daripada mengambil inisiatif ke rumah sakit untuk ditempuh langkah-langkah kesehatan, kalau ada gejala-gejala klinis.
Gejala sosial lainnya ialah ada stigma yang kuat dan keras, ditujukan kepada para pasien covid-19 sebagai pembawa malapetaka bagi keluarga dan masyarakat. Akibatnya, masyarakat malah lebih takut; daripada diberi stigma, dikucilkan oleh keluarga sendiri, lebih baik berdiam diri di rumah, sekalipun tidak diketahui, Â ada tidak langkah-langkah medis yang dilakukan secara mandiri.
Beredar pula isu bahwa rumah sakit mengcovidkan pasien dan kematian pasien. Saya tidak yakin, ini dilakukan, tetapi saya yakin, kalau isu ini telah dimainkan, dan telah dikonsumsi banyak pihak. Akibatnya, masyarakat antipati terhadap rumah sakit, dan tidak mau ke rumah sakit. Lantas????....