Sudah sejak lama, saya memutuskan tidak menonton sinetron-sinetron Indonesia. Apa sebab? Sinetron-sinetron yang notabene para aktor dan aktrisnya berperan sebagai anak-anak sekolah, lebih banyak mempertontonkan kisah seputar pacaran, tangisan galau, perkelahian, pameran motor, mobil.
Lebih anehnya lagi, mereka selalu mengenakan busana sekolah, tetapi intesitas waktu untuk pelajaran di kelas cuman sedikit dan itupun hanya mempertontonkan bagaimana si aktor atau si aktris menunjukkan sikapnya melawan atau membangkang terhadap sang guru.
Lantas, saya terus bertanya, apa pesannya? Mana letak edukasinya? Apa sinetron-sinetron itu diperagakan, ditayangkan hanya semata demi menggelembungnya saku para penulis skenario, para sutradara dan para aktor-aktris?
Sampai titik ini, saya menilai, dunia perfilman hingga kini masih mementingkan popularitas yang diukur berdasarkan tingkat kecemasan dan ketagihan para pemirsa yang menontonnya.
Sampai-sampai anak sekolah yang menontonya, rasanya lebih karuan kalau mempraktekkan aksi saling menuding, memarahi dan bahkan saling berkelahi secara fisik dalam kebiasaan sehari-hari.
Tingkah-tingkah para aktor dan aktris dalam film, kelihatannya lebih menyenangkan kalau galau terus karena diputusin sama pacar. Bahkan ada aksi tertentu yang merasa bangga karena memarahi dan menelantarkan orang tuanya.
Menurut hemat saya, pola penyebaran dunia perfilman seperti ini justru menempatkan kualitas siaran pada tingkat bawah sebab yang paling dipentingkan ialah tingginya niat untuk menciptakan kecemasan dan ketagihan para pemirsa ketimbang mengutamakan pesan-pesan yang lebih bermoral dan konstruktif untuk anak-anak bangsa.
Seringkali sekelompok anak-anak atau bahkan ibu-ibu, lebih asyik menceritakan sinetron, karena para aktor atau aktrisnya mudah terharu hingga melupakan apa tugas mereka yang paling penting.
Anak-anak sekolah dengan rela tidak belajar hanya karena ingin menonton sinetron yang bersambung persis pada aksi seorang remaja menerjunkan dirinya dari ketinggian sebuah tebing.
Ibu-ibu sering lupa menyiapkan makan siang buat suaminya, lantaran keasyikkan mengikuti sinetron yang bersambung persis pada aksi seorang gadis SMA yang rela membuang bayinya di tong sampah.