Mohon tunggu...
Yudel Neno
Yudel Neno Mohon Tunggu... Penulis - Penenun Huruf

Anggota Komunitas Penulis Kompasiana Kupang NTT (Kampung NTT)

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Menakar Degradasi Edukasi dalam Sinetron

31 Maret 2019   22:45 Diperbarui: 31 Maret 2019   23:25 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah sejak lama, saya memutuskan tidak menonton sinetron-sinetron Indonesia. Apa sebab? Sinetron-sinetron yang notabene para aktor dan aktrisnya berperan sebagai anak-anak sekolah, lebih banyak mempertontonkan kisah seputar pacaran, tangisan galau, perkelahian, pameran motor, mobil.

Lebih anehnya lagi, mereka selalu mengenakan busana sekolah, tetapi intesitas waktu untuk pelajaran di kelas cuman sedikit dan itupun hanya mempertontonkan bagaimana si aktor atau si aktris menunjukkan sikapnya melawan atau membangkang terhadap sang guru.

Lantas, saya terus bertanya, apa pesannya? Mana letak edukasinya? Apa sinetron-sinetron itu diperagakan, ditayangkan hanya semata demi menggelembungnya saku para penulis skenario, para sutradara dan para aktor-aktris?

Sampai titik ini, saya menilai, dunia perfilman hingga kini masih mementingkan popularitas yang diukur berdasarkan tingkat kecemasan dan ketagihan para pemirsa yang menontonnya.

Sampai-sampai anak sekolah yang menontonya, rasanya lebih karuan kalau mempraktekkan aksi saling menuding, memarahi dan bahkan saling berkelahi secara fisik dalam kebiasaan sehari-hari.

Tingkah-tingkah para aktor dan aktris dalam film, kelihatannya lebih menyenangkan kalau galau terus karena diputusin sama pacar. Bahkan ada aksi tertentu yang merasa bangga karena memarahi dan menelantarkan orang tuanya.

Menurut hemat saya, pola penyebaran dunia perfilman seperti ini justru menempatkan kualitas siaran pada tingkat bawah sebab yang paling dipentingkan ialah tingginya niat untuk menciptakan kecemasan dan ketagihan para pemirsa ketimbang mengutamakan pesan-pesan yang lebih bermoral dan konstruktif untuk anak-anak bangsa.

Seringkali sekelompok anak-anak atau bahkan ibu-ibu, lebih asyik menceritakan sinetron, karena para aktor atau aktrisnya mudah terharu hingga melupakan apa tugas mereka yang paling penting.

Anak-anak sekolah dengan rela tidak belajar hanya karena ingin menonton sinetron yang bersambung persis pada aksi seorang remaja menerjunkan dirinya dari ketinggian sebuah tebing.

Ibu-ibu sering lupa menyiapkan makan siang buat suaminya, lantaran keasyikkan mengikuti sinetron yang bersambung persis pada aksi seorang gadis SMA yang rela membuang bayinya di tong sampah.

I am say sorry for you...para penulis skenario, para sutradara, para aktor-aktris, dan para-para lainnya, bukannya saya anti sinetron tetapi yang lebih berkualitaslah. Bangsa ini memang  hanya bisa dimajukan dengan kualitas, tidak bisa hanya dengan galau-galau tak karuan.

Para pengarah sinetron pun tidak bisa melemparkan begitu saja pesan setiap sinetron pada anak-anak bangsa. Mengingat bahwa generasi zaman millenial, mereka lebih suka akan apa yang menyenangkan dirinya, hobinya daripada niat untuk belajar demi perubahan.

Sudah tiba waktunya, para pengarah sinteron mesti mengubah pola pikir bahwa jaminan bagi tersampaikannya pesan moral dari sebuah sinetron, pertama-tama ada pada kualitas moral yang ada dalam sinetron itu sendiri. Kualitas moral yang utuh adalah pangkal bagi dalamnya pesan yang ingin dipetik.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun