Negara tidak boleh mengintervensi agama dalam urusan keagamaan yang berkaitan langsung dengan imannya. Hanya kecuali, ada tindakan kriminal tertentu yang mengatasnamakan agama atau dilakukan oleh penganut agama yang satu terhadap penganut agama lain, dan secara de facto dan de jure, melanggar hukum.
Hemat saya, rumusan tentang kegiatan-kegiatan keagamaan perlu mendapat izin dari kantor kementrian agama kabupaten/kota, merupakan suatu rumusan yang keliru dan bercorak mengintervensi urusan iman keagamaan.
Patut dicatat  bahwa agama dan negara perlu dibedakan. Agama sebagai lembaga iman, sama sekali tidak berususan dengan negara melainkan berurusan langsung dengan Realitas Tertinggi; Yang Illahi; Allah.  Dan justru kegiatan-kegiatan keagamaan dilakukan dalam rangka menjunjung tinggi Yang Illahi ini. Dalam arti ini, siapapun entah negara (kementrian agama) sama sekali tidak berwewenang untuk urusan ini. Dalam rumusan yang paling tegas, sumber iman dan tujuan iman bukanlah negara (kementrian agama).
Justru, kementrian agama melalui Bimbingan Masyarakat (Bimas) entah Katolik maupun Protestan merupakan media untuk menjembatani urusan administratif, urusan pendidikan formal, urusan pemerintahan bukan urusan iman. Kementrian agama tidak berwewenang atau tidak memiliki kuasa mengajar, yang dalam Gereja Katolik disebut dengan Magisterium Gereja atau Kuasa Mengajar Gereja. Dalam urusan iman dan moralitas penganutnya, Magisterium Gereja (Katolik), dalam terang kuasa Kristus diberi kuasa melalui pembaptisan dan tahbisan untuk pengajaran iman, pelayanan umat dan peribadahan. Â
Tentang Magisterium Gereja atau Kuasa Mengajar Gereja ini, saya ingin memberi penjelasan dalam kaitannya dengan hubungan Gereja dan Negara menurut sumber kekuasaan.
Sumber kekuasaan negara demokrasi adalah rakyat. Negara Indonesia adalah negara demokrasi. Hukum tertinggi bagi negara demokrasi adalah Pancasila. Sebagai negara demokrasi, sumber kekuasaan atau kedaulatan kekuasaan berada di tangan rakyat. Karena itu segala kebijakan dan tindakan oleh para pemegang kekuasaan mesti menempatkan rakyat sebagai dasar dan tujuan. Inilah pemahaman tentang sumber kekuasaan negara demokrasi.
Sumber kekuasaan Gereja adalah Kristus sendiri. Jika negara merupakan organisasi demokratis maka Gereja bukanlah organisasi demokratis. Sumber kekuasaan Gereja adalah Kristus sendiri. Kekuasaan ini nampak melalui kuasa hirarki berdasarkan kuasa rahmat tahbisan. Karena itu, segala tindakan dan kebijakan yang diambil dan dilakukan oleh kaum tertahbis merupakan perwujudan dari kekuasaan dan kewibawaan Kristus sendiriÂ
Penutup
Berdasarkan analisis di atas, sebagai generasi muda; calon pemimpin Gereja masa depan dalam Tubuh Gereja Gereja Katolik, saya mengatakan menolak rumusan dalam RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan khususnya pasal 69 dan pasal 70.
Hemat saya, perumusan seperti ini menampakkan kegagalan DPR karena tidak menjawabi secara konstektual dan tepat kebutuhan rakyatnya yang adalah rakyat  yang beriman dan berkepercayaan menurut ajaran agama masing-masing.
Untuk itu, dalam terang semangat konstitusional dan dengan digerakkan oleh semangat nasionalis, berjiwa patriotis, siapapun dia, dalam menjalankan pemerintahan negara ini, dalam mengambil kebijkan-kebijakan ia perlu mempedomani keempat pilat negara tercinta ini yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.