Mohon tunggu...
Yudel Neno
Yudel Neno Mohon Tunggu... Penulis - Penenun Huruf

Anggota Komunitas Penulis Kompasiana Kupang NTT (Kampung NTT)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jefri Ndun: Kesadaran "Ecosophy" Pintu Pertobatan Ekologis

6 Desember 2017   22:44 Diperbarui: 7 Desember 2017   23:57 783
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Manusia adalah makhluk dinamis yang mengalami perubahan dari saat ke saat; perubahan cara berpikir, bertindak, pola hidup dan lain-lain. Perubahan ini didorong oleh pontensi asali manusia (cipta, rasa dan karsa), kebutuhan, keinginan, keadaan sosial budaya. Pada zaman ini manusia telah  memasuki peradaban baru oleh karena suatu perubahan yang signifikan. Peradaban ini ditandai oleh perubahan dalam aneka kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, informasi dan komunikasi. Semuanya ini dari hakikatnya bertujuan baik sebagai hasil kreatifititas manusia dan juga untuk kepentingan manusia hidup manusia. 

Namun tak dapat disangkal, bahwa fakta kemajuan dan perkembangan ini pun menyeret  manusia jatuh dalam aneka degradasi nilai yang sifatnya destruktif. Manusia mengalami kemerosotan dalam moral, iman dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya, baik dalam hubungannya dengan sesama, alam sekitar dan Tuhan sendiri. Charles Taylor pernah mengatakan bahwa manusia zaman sekarang mengalami suatu krisis oleh karena kemajuan cara berpikir yang terejawantahkan dalam kemajuan teknologi. Manusia yang terpukau dengan semuanya itu tetapi pada saat yang sama merasa jenuh. Manusia menciptakan aneka perkembangan teknologi tetapi manusia juga tenggelam dalam dunia buatannya sendiri.

Salah satu korban kemajuan dan  perkembangan dalam zaman ini sebagaimana sudah disinggung di atas adalah alam semesta. Alam semesta yang sejak penciptaan dilihat oleh Allah sebagai "baik adanya" dan diberikan kepada manusia untuk diolah berdasarkan kemampuan manusia sungguh telah menangis oleh karena ulah manusia, walaupun perlu diakui pula bahwa tidak semua kerusakan alam diakibatkan oleh manusia. 

Paus Paulus VI dalam Ensikliknya Pacem in Terris menulis: "karena eksploitasi yang sembarangan, manusia mengambil resiko merusak alam dan pada gilirannya menjadi korban degradasi ini". Ia menilai bahwa kemajuan ilmiah yang sangat luar biasa, pertumbuhan ekonomi yang sangat mencengangkan tidak disertai dengan perkembangan sosial dan moral yang baik akan merusak manusia sendiri. Demikian pula Paus Benediktus XVI yang mengkritik aneka pertumbuhan yang  tidak mampu menjamin penghormatan kepada lingkungan. Bila adam dan hawa purba telah merusak eden purba, kini alampun dirusak oleh adam dan hawa modern.

Kerusakan alam dan akibat-akibatnya menyata dalam berbagai bentuk. Polusi udara di berbagai tempat oleh asap pabrik mengakibatkan penyakit bagi  manusia. Polusi oleh kebiasaan membuang sampah yang tak teratur sungguh merusak kecantikan alam sekitar. Pemanasan global oleh karena perubahan iklim yang tragis membuat bumi menjadi panas dan tak memberikan rasa nyaman serta mengakibatkan musim yang tak teratur karena mengalami pergeseran-pergeseran yang kontras. 

Penambangan-penambangan yang hanya menguras isinya dan membiarkan tanah terluka tanpa penanaman kembali berimbas pada air tergenang dan berbahaya bagi hewan. Longsor dan banjir menjadi ancaman bagi manusia yang berada di sekitar daerah tambang. Belum lagi sumber-sumber air yang kian terbatas dan mengering. Ini adalah beberapa kasus yang mengglobal dewasa ini. Bila kita menilik ke dalam wilayah kita khususnya, kenyataan-kenyataan ini tak dipungkiri. 

Keadaan Kota Kupang yang makin panas, sampah berserakan di mana-mana apalagi jika ada acara-acara yang melibatkan khalayak ramai, penambangan di beberapa tempat di propinsi kita yang hanya mengutamakan nilai pendapatannya tanpa memperhatikan pelestarian lanjutan dan kesejahteraan masyarakat sekitar tambang, curah hujan yang tak teratur, tempat-tempat yang dulu kita sebut "pemali" kini dirusak dan tinggal sebuah cerita. 

Sekali lagi, kerusakan atau kehancuran ini lingkungan adalah bukan semata disebabkan oleh ulah manusia tetapi perlu diakui bahwa sejak munculnya roh sekularisasi akibat perkembangan atau revolusi industri di Inggris membuat segalanya berubah drastis. Alam bukan dilihat sebagai mitra tetapi sebagai musuh yang harus dikalahkan, obyek yang dijadikan pemenuhan kebutuhan dan persaingan manusia semata. 
Alam lingkungan terancam karena ulah manusia yang kian rakus, tamak, daya konsumsi tinggi ketimbang daya produktif, kesombongan manusia, struktur dan sistem dalam masyarakat kita yang korup dan instant,  hidup tanpa aturan, penyembahan pada materialisme, hedonisme yang berpuncak pada egoisme diri dan melihat yang lain sebagai lawan yang perlu dieksploitasi demi kepentingan dan keuntungan sendiri. Alam ciptaan yang dari asal muasalnya baik dan berharga hanya dilihat sebagai barang bukan lagi sesuatu. 
Alam yang dalam dirinya mengandung  kebenaran kosmis tersendiri kini dalam bahasa sepinya mengalami pengasingan dan pemerkosaan yang luar biasa oleh manusia. Situasi ini ditulis dengan sangat jelas oleh Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si: "saudara kita ini (bumi) sekarang menjerit karena segala kerusakan yang kita timpakan padanya, karena tanpa tanggung jawab kita menggunakan dan  menyalahgunakan kekayaan yang telah diletakkan Allah di dalamnya. Kita bahkan berpikir bahwa kitalah pemilik dan penguasanya yang berhak untuk menjarahnya. 
Kekerasan yang ada dalam hati kita yang terluka oleh dosa, tercermin dalam gejala-gejala penyakit yang kita lihat pada tanah, air, udara,  dan pada semua bentuk kehidupan. Oleh karena itu bumi, terbebani dan hancur, termasuk kaum miskin, yang paling ditinggikan dan dilecehkan oleh kita. Bumi kita sebagai ibu pertiwi  kini mengeluh dalam rasa sakit bersalin. Padahal tubuh kita sendiri tersusun dari debu tanah, kita menghirup udara bumi ini dan disegarkan oleh airnya". 
"Manusia tercabut dari akar religiusnya", demikian lagi pendapat Charles Taylor yang menurut hemat saya menjadi akar yang menimbulkan krisis dalam diri manusia sehingga alam lingkunganpun menjadi korban manusia. Karena ketercabutan manusia dari akar religiusnya, manusia dapat bertindak sebagaimana dikatakan oleh Paus Fransiskus di atas. Manusia salah menggunakan, salah menafsirkan dan gagal merawat harta rohani dan kebajikan-kebajikan ilahi dalam dirinya yakni sikap tanggung jawab, empati, solider yang diberikan oleh Allah untuk menguasi bumi dan isinya sebagai sebuah harta yang lain. 
Manusia mendemontrasikan sikap melawan kebenaran Allah yang terpancar di dalam alam semesta ini dan tidak mengasihi Allah yang terwujud dalam sikap tidak menghargai dan menghormati alam lingkungan. 

Keadaan alam yang menangis dan rusak zaman ini secara tak langsung mengindikasikan bahwa manusia belum menjadi anak-anak merdeka. Manusia masih terjajah oleh dosa-dosa dan kecendrungan satanik lainnya. Manusia belum menjadi anak terang melainkan anak gelap dan  tentu belum mampu mengalami langit baru dan bumi baru sebagai rumah penuh masa depan yang penuh kenyamanan dan kedamaian karena masih menjadi hamba dosa. Kitab Suci mengatakan secara tegas "sesungguhnya setiap orang yang berbuat dosa, adalah hamba dosa".

Gereja mengajak kita untuk kembali pada kebenaran dan kasih Allah untuk memiliki keprihatinan dengan lingkungan alam yang menderita ini. Melalui seruan-seruan para Paus, uskup dan seruan pastoral lainnya, Gereja menunjukkan tanggung jawabnya untuk melindungi alam lingkungan ini dengan menumbuhkan sikap ecosophy dalam diri setiap orang. Berikut adalah beberapa seruan dari para Paus dalam ensiklik-ensiklinya untuk dan sekiranya menyadarkan setiap orang bahwa alam lingkungan perlu mendapat perlakuan yang sama dan adil karena merupakan ciptaan Allah yang di dalamnya terkandung harkat dan martabatnya, terkandung kebijaksanaan-kebijaksanaan Allah yang terpancar.

Konstitus Gaudium et Spes

Dalam artikelnya ke 69 menegaskan keterbukaan penggunaan alam dan bumi oleh semua orang dan untuk semua orang. Konstitusi Pastoral ini menulis: "Allah menghendaki, supaya bumi beserta segala isinya digunakan oleh semua orang dan sekalian bangsa, sehingga harta benda yang tercipta dengan cara yang wajar harus mencapai semua orang, berpedoman pada keadilan, diiringi dengan cinta kasih". Manusia tidak perlu mencaplok semua yang tercipta sebagai miliknya semata tanpa memperhitungkan kepentingan yang lebih luas dan lebih lama lagi.

Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis dari Paus Yohanes Paulus II

Dalam ensikliknya ini, khusunya artikel 34 menegaskan bahwa manusia tidak dibenarkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mengorbankan hewan, tumbuhan dan unsur-unsur alam lain. Sumber daya alam sifatnya terbatas sehingga dalam pemanfaatannya harus memperhatikan tuntutan-tuntutan moral dan etis. Bahwasannya sang Pencipta sudah mengungkapkan secara simbolis agar manusia tidak  makan "buah terlarang". 

Alam dari keadaan asalinya tidak hanya terikat dengan dan di bawah hukum-hukum biologis tetapi juga hukum-hukum moral. Allah adalah anugerah Allah bagi semua orang sehingga dalam pengelolaannya harus memperhatikan kesejahteraan bersama tanpa menghilangkan aspek keberlanjutannya. Sikap hormat ini sangat penting agar kodrat setiap ciptaan tetap diindahkan serta hubungan antar ciptaan dalam satu tata-susunan yang teratur sebagai sebuah kosmos.

Surat Apostolik Octogessima Adveniens dari Paus Paulus VI

Dalam artikelnya yang ke 21, Sri Paus Paulus VI mengingatkan akan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup yang berlangsung terus. Menurutnya, bahwa akibat eksploitasi alam yang acak-acakan, manusia menyadari munculnya resiko yang menghancurkannya, dan ia sendiri menjadi korban atas pengrusakannya itu. Sri Paus menegaskan bahwa umat kristiani harus memiliki tanggung jawab untuk memperhatikan persoalan-persoalan yang sudah berjangka luas ini bersama dengan semua pihak lainnya dengan membangun masa depan sejak dari sekarang

Ensiklik Laudato Si' dari Paus Fransiskus I

Ensiklik inilah yang berbicara secara khusus tentang lingkungan hidup. Paus Fransiskus menggambarkan hakekat dari keterciptaan alam semesta dan keterkaitannya dengan manusia sebagai makhluk istimewa. Bahwasannya alam lingkungan yang dari asalnya adalah mulia, suci dan bermartabat oleh karena ulah  manusia di zaman ini menjadi rusak dan hancur. Ia menggunakan istilah menangis. Bahwa perkembangan peradaban manusia dengan adanya teknologi dan informasi serta persaingan ekonomi yang tak diimbangi dengan sikap etis-moral, penurunan kualitas manusia dan sikap sosial manusia, kuasa manusia yang begitu sombong, perkembangan paradigma teknokratis adalah sumber dan akar dari kerusakan alam lingkungan yang juga berimbas bagi kehidupan manusia sendiri dalam berbagai bidang; sosial, ekonomi, politik, pendidikan dan lain sebagainya. Alam tidak lagi menjadi tempat kediaman yang nyaman.

Maka keadaan ini menjadi tanggung jawab semua orang beriman agar mengembalikan alam dalam tatanannya yang benar. Paus mengajak setiap orang untuk masuk dalam pertobatan ekologis dengan kembali memegang prinsip-prinsip Ilahi dan dengan meneladani St. Fransiskus Asisi terutama Kristus Yesus sebagai dasar iman. Manusia perlu  membangun kehidupan dengan kesadaran akan kesejahteraan bersama, keadilan yang terintegrasi dan melakukan dialog-dialog dalam lingkup internasional, nasional ataupun lokal. Manusia diharapkan membangun suatu gaya hidup baru dengan memiliki pola pikir dan pola tindakan yang baru berlandaskan iman, moral dan pendidikan yang berorientasi pada kebaikan bersama.

Beberapa pemikiran dan pandangan para Paus di atas menjadi suatu inspirasi dan arah baru bagi setiap manusia untuk melihat alam lingkungan lebih bijaksana sebagai suatu ciptaan Allah sama seperti manusia pada umumnya. Selain itu memunculkan sebuah tindakan pengakuan yang sempurna bahwa alam lingkungan adalah saudara yang perlu dihormati dan dihargai. 
Alam adalah bagian integral dalam rangkaian kosmos indah karya Tuhan dan memiliki kesuciaanya sendiri. Inilah sikap ecosophy yang harus dimiliki oleh manusia zaman sekarang supaya manusia belajar untuk mengorbankan hasrat-hasrat diri yang terarah pada penodaan, pengrusakan lingkungan ini dan membangun suatu pola hidup yang memberdayakan alam lingkungan ini. Alhasil manusia dapat menyebut alam lingkungan ini sebagai saudara dan saudari serta memperlakukan mereka seperti manusia mencintai dirinya sendiri. 
Sebab sebagai makhluk rohani, manusia hanya bisa menyucikan dirinya dengan cara menyucikan ciptaan lain. Supaya bersama dan dalam kesatuan dengan hewan, tumbuhan, manusia hidup di dalam rumah ini dan bersama-sama memuliakan Allah sendiri. Sebagaimana tersurat dalam Kitab Suci ini "dari kebesaran dan keindahan benda-benda ciptaan, tampaklah gambaran tentang Khalik mereka" (kebij. 13: 5) dan "Kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya dapat tampak dan dipahami dari Karya-Nya sejak dunia diciptakan (Rm. 1: 20)". 

Inilah makna dan arti dari suatu pertobatan baru yang diminta dari manusia yaitu pertobatan ekologis. Supaya kesadaran ecosophy dalam diri manusia membawanya masuk dalam suatu visi dan misi gereja sendiri terutama suatu visi ilahi bahwa keselamatan dan hidup baru itu tidak sebatas pada sesama manusia melainkan terintegrasi dengan semua ciptaan Allah yang lain; hewan, tumbuhan dan ciptaan abiotik lainnya. 
Muncul sikap syukur dan kemurahan hati bahwa alam semesta adalah kado dari Allah bagi manusia karena kasih-Nya dan karena itu terikatlah tanggung jawab manusia untuk melindungi alam lingkungan. Keselamatan itu pun tidak hanya berdimensi tunggal bagi  manusia melainkan juga berdimensi sosial dalam keterkaitan dan keterikatan dengan ciptaan-ciptaan lainnya. Sehingga bersama dengan yang lain, manusia menjadikan dirinya sebagai "persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan (Rm. 12: 1) bagi Allah.
Sumber:Kitab Suci Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes, Konstitusi Pastoral tentang Gereja dalam Dunia Modern, (07 Desember 1965) dalam: Hardawiryana, R. (penerjemah), Dokumen Konsili Vatikan II, Jakarta: Obor, 1993.Martin Harun (Penerj.), Paus Fransiskus, ENSIKLIK LADATO SI, Jakarta: Obor, 2015R. Hardawiryana (Alih bahasa), Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja tahun 1891 -- 1991 dari Rerum Novarum sampai Centesimus Annus, Depaterteman Dokumentasi dan Penerangan KWI,  Jakarta; 1999Petrus Danan Widharsana dan R. D. Victorius Rudy Hartono, Pengajaran Iman Katolik, Yogyakarta: Kanisius, 2017.Armada Riyanto, Berfilsafat Politik, Yogyakarta: Kanisius, 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun