Dengan demikian, pengguliran hak angket DPR kepada KPK terkait dengan posisi KPK untuk tidak menyerahkan BAP yakni rekaman video Miryam S. Haryani kepada DPR untuk dipublikasikan, adalah sebuah manuver politik yang sarat motif politis. Disebut motif politis karena alasan yang digunakan oleh DPR untuk menggulirkan hak angket terhadap KPK lebih tepat disebut alasan politis bukan alasan yuridis.
POSISI KPK
KPK adalah Lembaga Negara non pemerintahan yang bertujuan untuk menenegakan hukum. sebagai konsekuensi logisnya, pengguliran hak angket oleh DPR terhadap KPK adalah sebuah tindakan menyalahi UU no. 17, tahun 2014, pasal 79 ayat 3. Dengan demikian, penerapan hak angket  DPR ini salah sasaran. Lagipula menurut Undang-Undang nomor 30 tahun 2002, pasal 3 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menyatakan bahwa KPK adalah Lembaga Negara yang dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun. Artinya jika terjadi kejanggalan, media yang harus digunakan untuk membangun kerja sama dengan KPK adalah media Rapat Dengar Pendapat (RDP).
Posisi KPK untuk tidak menyerahkan BAP; (video) terkait dengan penyelidikan terhadap koruptor dana e-KTP yang melibatkan sejumlah anggota DPR, adalah posisi yuridis. Disebut posisi yuridis karena KPK bertindak menurut hukum yang berlaku. BAP ketika telah diserahkan untuk diproses oleh Lembaga Penegak Hukum (Pengadilan) dalam hal ini kepada hakim, maka tidak diperkenankan untuk dipublikasikan sebelum adanya temuan yuridis untuk menetapkan seseorang sebagai terdakwa. Kalaupun diperkenankan untuk dipublikasikan, itu pun hanya oleh hakim dna ketua pengadilan negeri, itu pun atas pertimbangan yuridis tertentu. DPR bukanlah Lembaga Penegak Hukum karena itu tidak berhak untuk mendapatkan video rekaman Miryam S. Haryani.
DUGAAN MOTIF HAK ANGKET DPR
Berdasarkan uraian sebelumnya, karena DPR menggulirkan hak angketnya terhadap KPK dengan poisisi lemah secara yuridis, maka diduga ada motif lain yang bergerak di belakang itu. Salah sasaran penggunakan hak angket ini mengindikasikan adanya motif politis dan motif status quo DPR.Â
DPR terkesan menggunakan hak angketnya karena diajmin oleh UU, untuk mengintervensi  KPK. Intervensi berlebihan dengan dasar yuridis yang lemah seperti ini, justeru mendatangkan tingginya rasa curiga rakyat terhadap DPR sendiri. Rupanya para anggota DPR tidak menjiwai secara betul UU nomor 30 tahun 2002, pasal 3. Adakah hak angket itu merupakan produk dari kecemasan dan ketakuatan  DPR  demi mempertahankan nama baik (status quo) DPR di hadapan publik dan demi membungkam para koruptor e-KTP yang melibatkan sejumlah angota DPR?
CATATAN KRITIS
Penggunaan hak angket  DPR terhadap KPK merupakan sebuah tindakan terkategori non yuridis karena menyalahi aturan UU. DPR seolah-olah berusaha membawa kasus pidana e-KTP dalam ranah hukum untuk diseret ke ranah politis. UU yang telah ditetapkan oleh DPR justeru terkesan dimuntahkan kembali dan disaksikan oleh publik. Tuntutan DPR terhadap KPK untuk mendapatkan BAP ; video rekaman Miryam S. Haryani adalah sebuah tindakan menyalahi martabat DPR sebagai Lembaga Legislatif. DPR adalah lembaga legislatif bukan lembaga hukum.
 Dengan tindakan itu, DPR seolah-olah ingin mengambil alih tugas dari Lembaga penegak hukum yakni Pengadilan, KPK, Kepolisian dan Kejaksaan. Dengan demikian, hemat saya, tindakan yang layak dilakukan oleh DPR adalah Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama KPK, bukan pengguliran hak angket. Hak angket DPR ini gugur dengan sendirinya karena kandungan yang ada dalam hak angket tidak bermotif yuridis. Hak angket ini tidak bermotif yuridis karena KPK tidak melakukan satu kebijakan yang sangat merugikan rakyat.
PENULIS ADALAH FR. YUDEL FON NENO