Bercermin pada realitas hidup manusia, adanya diskriminasi gender menjadi polemik krusial dalam diskursus kemanusiaan dewasa ini. Konsekuensi positif dari diskursus ini, banyak orang entah secara pribadi ataupun secara kelompok tergerak hati dan terpanggil secara kritis untuk memperjuangkan hak manusia guna mengkritisi mirisnya realitas publik yang seringkali merongrong martabat manusia.
Masalah persamaan martabat antara laki-laki dan perempuan merupakan fenomen yang tidak pernah tuntas terselesaikan. Seumpama pribahasa tua: "Mati satu tumbuh seribu", masalah gender dan kemanusiaan tak pernah selesai. Aneka fakta miris antara lain kasus kekerasan terhadap perempuan dalam keluarga(KDRT), meningkatnya jumlah kasus pembunuhun perempuan, pelecehan seksual terhadap anak gadis dibawah umur serta masalah-masalah kekerasan lainnya. Selain kekerasan fisik, acap kali kekerasan verbal juga terjadi secara struktural dan sistematis di berbagai bidang kehidupan.
Tak dapat dipungkiri, peliknya fenomena penghinaan, perendahan dan diskriminatif melalui tutur kata ataupun perilaku menghiasi beranda kehidupan ini. Fenomena itu pun secara masif terjadi baik di ruang privat maupun publik; di dunia nyata maupun maya (Medsos). Konsekuensinya, perspektif naif terhadap kaum perempuan tak terhindarkan, bahkan merasuk dan merusak tataran paradigma kolektif masyarakat dengan meyakini bahwa perempuan adalah manusia "ciptaan kelas II", konsekuensinya tidak setara dengan lelaki.Â
Mirisnya lagi, perspektif ini mudah diterima dan bahkan menjadi pola umum untuk diberlakukan oleh generasi sekarang. Â Maka perendahan martabat pada perempuan diasumsikan sebagai sebuah kebiasaan, bukan menyoal salah dan benar, baik dan buruk, tapi semua itu biasa-biasa saja (banalitas apatis). Â Karena itu, tulisan ini ingin memetakan kerangka teoritis perihal martabat perempuan dalam pandangan teologi biblis Kristiani sembari melukiskan relasi Maria (ibu Yesus) dengan Allah; sebagai salah satu contoh, bagaimana Allah memilih perempuan dalam karya keselamatan di tengah dunia. Di samping itu, Maria dapat dijadikan prototipe keteladanan bagi perempuan dalam menghayati peran hidupnya di tengah Gereja dan dunia.
Perempuan dalam Konsep Kemanusiaan Kristiani
Dalam konsep Kristiani, perempuan dan laki-laki dimasukkan dalam tatanan ciptaan oleh Allah sebagai mahkota ciptaan. Allah menciptakan manusia (laki-laki dan perempuan) menurut citra-Nya sendiri, menurut gambar dan rupa Allah. Allah sekaligus menganugerahkan kuasa kepada laki-laki dan perempuan untuk menguasai bumi dan semua ciptaan di dalamnya (lih. Kej.1:26-27). Bahkan secara lebih tegas, Allah menjadikan perempuan sebagai ciptaan istimewa bagi laki-laki dengan menciptakan perempuan dari tulang rusuk laki-laki (bdk. Kej.2:18-25). Ingat, keistimewaan itu bukan soal perbedaan kelas melainkan kesamaan martabaat sebagai ciptaan oleh Allah yang Satu dan sama.
Hawa bukan bagian kedua dari Adam atau berasal dari Adam atau setengah dari sang Adam. Melainkan  Adam adalah sarana yang dipakai Allah untuk menciptakan Hawa. Persis pula ketika Allah menggunakan debu tanah untuk menciptakan Adam. Debu tanah adalah sarana. Lantas kemudian kita mengartikan bahwa martabat debu tanah lebih tinggi dari Adam.Â
Bukankah itu sebuah kedunguan? Karena itu, tidak ada hubungan dengan siapa yang lebih dahulu atau kemudian diciptakan Allah. Kedua-duanya harus dipahami dan dihayati bahwa pada mulanya Allah menciptakan manusia (Adam dan Hawa). Dengan demikian, kesetaraan martabat telah bermula oleh Allah dan dari mulanya telah menetap dalam diri manusia. Kesetaraan itu oleh Allah, maka mengapa manusia harus tamak untuk merampas kesetaraan Allah itu dengan menghalalkan cara setara 1 setara 2 terhadap laki-laki dan perempuan?
Refleksi kritis atas karya penciptaan Allah ini, menghantar kita pada suatu pemahaman sosiologis bahwa hak untuk berkuasa atas ciptaan lain -- bumi dan segala isinya adalah kuasa asali yang diberikan Allah kepada manusia. Disebut kuasa asali karena bersumber dari Sang Penguasa Asali. Sang Penguasa Asali itu adalah Dia yang merupakan sumber kesetaraan, sumber keteraturan yang indah dan sumber kelestarian yang memukau.
Dengan menelusuri hak dan martabat manusia yang bersumber pada hukum kodrati (naturale law) dan keadilan kodrati (ius naturale), Karel Vasak seorang pakar hukum Perancis; mengelompokkan perkembangan hak asasi manusia dalam tiga bagian yakni kebebasan (liberte), persamaan (egalite), dan persaudaraan (fraternite). Tiga konsep ini berkembang dalam tiga generasi berbeda selama masa revolusi Perancis
Pertama, Kebebasan (Liberte) meliputi jaminan atas hak sipil dan politik. Setiap orang memiliki hak untuk mendapat perlindungan hukum, rasa aman (bebas dari ketakutan dan tekanan) dan bebas dari segala intervensi negara yang sewenang-wenang. Konsep ini lahir dari para pejuang reformist yang menekankan kebebasan pribadi. Pada bagian ini termasuk didalamnya jaminan untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi gender dan ras.Â