Serat Tripama adalah tiga suri taulada atau tiga keteladanan Satrio dalam karya KGPAA Mangkunegara IV (1809-1881) di Surakarta, yang ditulis dalam tembang Dhandanggula sebanyak 7 pada (bait), mengisahkan keteladanan Patih Suwanda (Bambang Sumantri), Kumbakarna dan Suryaputra atau Adipati Karna (Kamajaya, 1985).
Serat Tripama yang memuat pupuh macapat atau salah satu jenis tembang/lagu Jawa dhandanggula terdapat 7 (tujuh) Pada (bait) yang mengisahkan tiga tokoh utama yang ada dalam ringgit purwa (pewayangan) Jawa, Patih Suwanda, Kumbakarna, Adipati Karna. Ketiga tokoh tersebut berasal dari tiga kisah yang berbeda-beda yang berisi tentang teladan bagi para prajurit yang berwatak ksatria, gigih tidak takut dalam membela negara. Ketiganya digambarkan mempunyai loyalitas dan dedikasi yang tinggi pada negaranya, untuk mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan keluarga. Sikap ketiga tokoh jawa tersebut menggambarkan berbagai macam nilai ksatria yang ada di dalam Etika Jawa sehingga patut menjadi suri teladan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Tokoh pertama dalam Serat Tripama yang bernama Bambang Sumantri (Patih Suwanda);
Seorang patih dari kerajaan Maespati yang mengabdi pada Raja Harjunasasrabahu dan dikisahkan pada era sebelum Sri Rama tokoh dalam kisah Ramayana. Bambang Sumantri adalah Patih dari Raja Harjunasasrabahu dari negara Maespati yang juga disebut Raden Suwanda setelah menjabat menjadi seorang patih merupakan tokoh termasyhur keteguhan, kegagahan dan keberaniannya, Bambang Sumantri mampu melaksanakan semua tugas dari Prabu Harjunasasrabahu dengan penuh tanggungjawab, hingga akhirnya gugur di medan perang melawan Dasamuka.
Serat yang ditulis oleh Sri Mangkunegara IV dalam tembang Dhandanggula pada (bait) ke satu dan ke dua yang dapat diterjemahkan sebagai berikut: Seyogyanya para prajurit; Semua bisa meniru; Seperti ceritera pada jaman dulu; Andalan sang raja; Sasrabahu di negara Maespati; Namanya Patih Suwanda; Jasa-jasanya; Dikemas dalam tiga hal; Pandai, mampu dan berani (Guna, Kaya, Purun), itulah yang dipegang teguh; Menetapi keturunan orang utama. Guna: bisa menyelesaikan masalah yang dihadapi; Berupaya untuk memperoleh kemenangan; Kaya: ketika peperangan di negara Manggada; Bisa memboyong putri dhomas; Diserahkan kepada sang raja; Purun: Keberaniannya sudah nyata ketika perang tanding (dengan Dasamuka) raja Ngalengka; Patih Suwanda gugur di medan perang.
Adapun kesimpulan nilai kepahlawanan Patih Suwanda dinilai dari tiga hal, yaitu: Guna, Kaya dan Purun. GUNA: ksatria dengan sifat-sifat ksatrianya yang mampu menyelesaikan masalah. Unggul dalam segala hal. KAYA: Skill atau kemampuan, sedangkan PURUN: Kegagahberaniannya dalam kepemimpinannya.
Patih Suwanda, sebagai tokoh dalam "Serat Tripama", menjadi simbol keteladanan dan kepatuhan yang dapat dihubungkan dengan audit kepatuhan pajak warga negara. Patih Suwanda, sebagai figur moral dalam sastra klasik, memberikan gambaran tentang pentingnya keteladanan dan kesadaran dalam konteks audit kepatuhan pajak warga negara.
- Keteladanan > Patih Suwanda dalam "Serat Tripama" mencerminkan kesetiaan, pengorbanan, dan pembelaan terhadap kebenaran. Dalam audit kepatuhan pajak, kesetiaan terhadap kewajiban pajak dan kebenaran pelaporan menjadi nilai yang ditekankan.
- Pengaruh > Studi menunjukkan bahwa pemeriksaan pajak (tax audit) memengaruhi kepatuhan pajak warga negara. Demikian pula, karakter Patih Suwanda yang menjadi contoh keteladanan dapat memengaruhi perilaku warga negara dalam mematuhi kewajiban pajak.
- Kesadaran > Audit kepatuhan pajak juga berkaitan dengan kesadaran warga negara terhadap pentingnya membayar pajak. Seperti dalam "Serat Tripama", kesadaran terhadap nilai-nilai moral menjadi pondasi kepatuhan, demikian pula kesadaran terhadap tanggung jawab pajak menjadi esensial dalam audit.
Tokoh kedua dalam Serat Tripama yang bernama Raden Kumbakarna,
Raden Kumbakarna adalah panglima perang tertinggi dari Kerajaan Alengka sekaligus adik kandung Prabu Dasamuka (Rahwana) raja negeri tersebut. Dalam kisahnya Ramayana, Raden Kumbakarna tidak sependapat serta tidak membenarkan perbuatan sang kakak yang dianggapnya sebagai angkara murka dengan menculik Dewi Shinta, sikap Raden Kumbakarna ini bertolakbelakang dengan wujudnya sebagai seorang rasaksa (ditya/diyu) (Dwi 2020).Raden Kumbakarna memenuhi panggilan sifat ksatrianya sebagai panglima perang tertinggi kerajaan Alengka, Raden Kumbakarna yang rela berkorban jiwa dan tumpah darahnya. Raden Kumbakarna pada akhirnya gugur di tangan Sri Rama dan adiknya Raden Laksmana (Lesmana) bukan karena ia membela kesalahan Rahwana tetapi membela tumpah darahnya.
Sri Pakubuwana IV dalam Sekar Dhandanggula pada (bait) ke tiga dan empat adalah sebagai berikut yang dapat diterjemahkan sebagai berikut :
Satria agung dari negara Ngalengka; Sang Kumbakarna namanya; Walaupun wujudnya raksasa; Walau demikian ingin mencapai keutamaan; Ketika dimulainya perang Ngalengka; Ia menyampaikan pendapat; Kepada kakaknya (Prabu Dasamuka supaya (Ngalengka) selamat; Dasamuka tidak mau mendengar pendapat baik; Karena hanya melawan (balatentara) kera.