Mohon tunggu...
Fransiskus Frengki Pareira
Fransiskus Frengki Pareira Mohon Tunggu... Lainnya - NIM : 55522120027, Magister Akuntansi - Fakultas Ekonomi dan Bisnis - Universitas Mercu Buana - Pajak Internasional - Pemeriksaan Pajak - Dosen: Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

NIM : 55522120027, Magister Akuntansi - Fakultas Ekonomi dan Bisnis - Universitas Mercu Buana - Pajak Internasional - Pemeriksaan Pajak - Dosen: Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menyikapi Paradoks Kepentingan dalam Implementasi Action Plan Base Erosion and Profit Shifting (BEPS)

18 April 2024   13:32 Diperbarui: 18 April 2024   13:40 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Era globalisasi dan kemajuan teknologi telah mengubah lanskap bisnis secara drastis, memungkinkan individu dan perusahaan untuk melakukan transaksi bisnis secara global dengan lebih mudah. Perdagangan internasional telah menjadi salah satu pendorong utama aktivitas ekonomi, memungkinkan perusahaan untuk memperluas pasar dan meningkatkan efisiensi operasional mereka. Dampaknya, banyak perusahaan yang awalnya beroperasi hanya di satu negara kini menjadi perusahaan multinasional yang beroperasi di berbagai belahan dunia.

Namun, seiring dengan meningkatnya aktivitas bisnis global, muncul pula masalah terkait dengan perpajakan. Pemerintah di berbagai negara, termasuk Indonesia, harus berjuang untuk memastikan bahwa perusahaan multinasional yang beroperasi di wilayah mereka membayar pajak sesuai dengan yang seharusnya. Meskipun demikian, banyak perusahaan melakukan praktik BEPS (Base Erosion and Profit Shifting) dimana perusahaan yang cenderung menghindari pajak dengan memanfaatkan celah-celah peraturan perpajakan yang ada.

Salah satu praktik yang sering digunakan adalah transfer pricing, di mana perusahaan menentukan harga dalam transaksi mereka yang mungkin tidak sesuai dengan nilai pasar, tetapi lebih untuk memindahkan keuntungan ke negara dengan tarif pajak rendah atau bahkan tidak ada sama sekali (Tax Haven Country). Meskipun praktik ini sering dianggap legal, namun dalam beberapa kasus, hal ini dapat menyebabkan erosi basis pajak domestik dan pergeseran keuntungan di suatu negara. Misalnya di Indonesia, pajak merupakan salah satu kontributor utama pendapatan negara, menyumbang sekitar 74-80% dari total pendapatan. Namun, menurut OECD (2014), sebagian besar transaksi lintas perdagangan internasional yang dilakukan oleh perusahaan multinasional di Indonesia melibatkan aktivitas transfer pricing, yang menyumbang sebanyak 81% dari aliran keuangan ilegal. Jika tidak ada tindakan kooperatif antar-negara dalam mencegah dan menangani praktik transfer pricing ini, maka pembiayaan sektor-sektor strategis seperti pendidikan, kesehatan, jaminan sosial, dan infrastruktur dapat terganggu.

Untuk menanggulangi tantangan Base Erosion and Profit Shifting (BEPS), Organization of Economic Co-operation and Development (OECD) dan negara-negara anggota G20 bersatu dalam sebuah inisiatif revolusioner yang dikenal sebagai BEPS Action Plan. Rencana ini dirancang untuk menargetkan akar permasalahan dengan mengusulkan 15 rencana BEPS Action Point yang terfokus pada tiga pilar utama.

Pilar pertama, BEPS Action Plan bertujuan untuk menciptakan koherensi dalam peraturan perpajakan perusahaan di tingkat internasional. Dengan demikian, akan ada standar yang seragam dan jelas yang mengatur bagaimana perusahaan-perusahaan multinasional harus membayar pajak, tanpa celah untuk manipulasi.

Pilar kedua, rencana ini menekankan pada penataan kembali perpajakan dan substansinya untuk menutup celah-celah yang dimanfaatkan oleh perusahaan untuk menghindari kewajiban pajak. Ini termasuk penyempurnaan definisi dan penegakan aturan mengenai transfer pricing, penghindaran pajak melalui pengaturan perusahaan, dan penggunaan yurisdiksi pajak yang rendah.

Pilar ketiga, BEPS Action Plan mempromosikan kerjasama antar negara dalam hal perpajakan dan pembangunan ekonomi. Dengan memperkuat kerjasama internasional, negara-negara dapat saling berbagi informasi dan bekerja sama untuk mengatasi praktik-praktik penghindaran pajak yang merugikan.

Dok. pribadi
Dok. pribadi

Dengan 15 tindakan yang tercakup dalam BEPS Action Plan, pemerintah di seluruh dunia kini memiliki alat domestik dan internasional yang diperlukan untuk mengatasi penghindaran pajak. Hal ini memastikan bahwa keuntungan dikenai pajak di tempat di mana aktivitas ekonomi yang menghasilkan keuntungan dilakukan dan di tempat di mana nilai sebenarnya diciptakan. Melalui upaya bersama ini, diharapkan dapat dibangun sistem perpajakan yang lebih adil dan transparan bagi semua pihak yang terlibat.

Berikut ini penjabaran atas 15 rencana BEPS Action Point tersebut:

BEPS Action Point 1: Mengatasi tantangan perpajakan dalam ekonomi digital: Mengidentifikasi dan mengatasi tantangan yang dihadapi dalam memajaki perusahaan digital dengan kehadiran signifikan di negara lain, seperti ketidakjelasan dalam peraturan perpajakan terkait laba yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan tersebut. Hal ini berlaku tidak hanya pada pajak langsung seperti pajak perusahaan, tetapi juga pajak tidak langsung seperti Pajak Pertambahan Nilai dan Bea Cukai.

Contoh dari tantangan tersebut adalah perusahaan yang memiliki kehadiran digital yang signifikan dalam perekonomian negara lain selain negara asal perusahaan tersebut. Seperti menjual produk digital, atau beriklan ke pasar lokal. Peraturan perpajakan saat ini tidak begitu jelas mengenai cara mengenakan pajak atas keuntungan perusahaan tersebut.

BEPS Action Point 2: Menetralisir dampak pengaturan ketidaksesuaian hibrid: Mengatasi perbedaan perlakuan perpajakan yang diakibatkan oleh hibrida entitas atau instrumen keuangan di bawah hukum dua negara atau lebih, untuk mencegah penghindaran pajak.

Contoh dari pengaturan ketidakcocokan hibrid adalah entitas hibrid. Entitas seperti ini dianggap "transparan pajak" di satu negara dan "tidak transparan pajak" di negara lain. Penggunaan entitas tersebut dalam struktur perusahaan dapat menawarkan peluang untuk menghindari pajak atas penghasilan tertentu. Tujuannya adalah menetralisir dampak ketidakcocokan hibrid. Dari pelaksannanya mengusulkan untuk memasukkan ketentuan baru dalam Model Konvensi Pajak OECD. Hal ini akan memastikan bahwa manfaat perjanjian perpajakan diberikan pada kasus yang tepat sehubungan dengan pendapatan yang bersangkutan. Hal ini juga akan memastikan bahwa manfaat-manfaat ini tidak diberikan ketika tidak ada negara yang mengenakan pajak atas pendapatan ini.

BEPS Action Point 3: Memperkuat peraturan CFC: Memperkuat aturan Perusahaan Asing Terkendali (CFC) untuk memastikan bahwa anak perusahaan asing yang dikendalikan oleh pemegang saham di negara tempat tinggal perusahaan induk dikenakan pajak jika memenuhi kondisi tertentu. Misalnya, peraturan CFC dapat menguji apakah anak perusahaan berbasis di yurisdiksi pajak rendah dan apakah anak perusahaan tersebut memperoleh pendapatan pasif. Penerapan aturan CFC dapat berdampak pada pendapatan pajak rendah dari anak perusahaan asing yang dikendalikan, dikenakan pajak di negara tempat tinggal perusahaan induk. Dampak tambahannya adalah anak perusahaan asing yang dikendalikan tidak memiliki insentif untuk mengalihkan keuntungan ke yurisdiksi ketiga yang pajaknya rendah.

BEPS Action Point 4: Membatasi erosi dasar melalui pemotongan bunga dan pembayaran finansial lainnya: Mobilitas uang memungkinkan kelompok multinasional mencapai hasil yang menguntungkan dengan mengalihkan utang. Alasannya adalah bunga dikenakan pajak secara berbeda di seluruh dunia. Dalam beberapa kasus, tidak dikenakan pajak sama sekali.

Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa pengurangan bunga bersih berhubungan langsung dengan tingkat aktivitas ekonomi. Kegiatan ekonomi ditentukan berdasarkan penghasilan kena pajak, sebelum dikurangi beban bunga bersih, penyusutan dan amortisasi (EBITDA).

BEPS Action Point 5: Melawan praktik perpajakan yang merugikan secara lebih efektif, dengan mempertimbangkan transparansi dan substansi: Meningkatkan transparansi dan memperbaiki upaya mengatasi praktik perpajakan yang merugikan, seperti rezim pajak preferensial dan pertukaran informasi tentang keputusan perpajakan di muka. Langkah-langkah utama yang diambil dalam Action Point 5 adalah:

  • Persyaratan Aktivitas Substansial untuk Rezim Pajak Preferensial:
  • Pengembangan persyaratan aktivitas substansial untuk memastikan bahwa manfaat pajak dari rezim pajak preferensial hanya diberikan kepada entitas yang secara substansial berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi di wilayah yang bersangkutan.
  • Pertukaran Informasi tentang Keputusan Perpajakan di Muka:
  • Memastikan pertukaran informasi yang bersifat wajib terkait dengan keputusan perpajakan di muka, yang memberikan kejelasan kepada wajib pajak mengenai besarnya pajak yang harus mereka bayar.

Langkah-langkah pelaksanaan termasuk penyusunan dan penyempurnaan persyaratan aktivitas substansial, serta implementasi pertukaran informasi yang bersifat wajib. Monitoring dan evaluasi akan dilakukan untuk memantau implementasi dan dampak dari langkah-langkah tersebut.

Dengan demikian, Action Point 5 bertujuan untuk menciptakan lingkungan perpajakan yang lebih transparan dan adil, serta mengurangi kesenjangan perpajakan yang merugikan bagi negara-negara anggota.

BEPS Action Point 6: Mencegah penyalahgunaan perjanjian: Mencegah penggunaan perjanjian perpajakan untuk menghasilkan non-pajak berganda dengan mengembangkan ketentuan pembatasan manfaat dalam perjanjian perpajakan. Selain itu, negara-negara harus mempertimbangkan hal ini sebelum membuat perjanjian pajak dengan negara lain. Action Point 6 mengusulkan agar negara-negara memasukkan hal-hal berikut ke dalam perjanjian pajak mereka:

  • ketentuan pembatasan manfaat (LOB) (yang disederhanakan) yang dikombinasikan dengan uji tujuan utama (PPT),
  • PPT saja atau,
  • ketentuan LOB yang dilengkapi dengan ketentuan yang akan menolak manfaat perjanjian untuk melaksanakan pengaturan pembiayaan

BEPS Action Point 7: Mencegah penghindaran status Bentuk Usaha Tetap secara artifisial: Mengubah definisi Bentuk Usaha Tetap (BUT) untuk mencegah penghindaran status BUT secara artifisial dan menangani atribusi keuntungan yang terkait.

Singkatnya; Bentuk usaha tetap adalah suatu tempat usaha tetap yang pada umumnya menimbulkan kewajiban perpajakan. Misalnya, sebuah perusahaan di Perancis menyewa kantor di Inggris tempat aktivitas berlangsung.

Contoh lainnya adalah perusahaan yang terdaftar dan beroperasi di Inggris, dimana semua keputusan dibuat oleh manajer yang tinggal secara permanen di Perancis.

Laporan akhir mengenai Aksi 7 mengusulkan untuk menurunkan ambang batas PE dalam Model Konvensi Pajak OECD. Artinya, Perusahaan Multinasional yang mempunyai aktivitas di beberapa negara akan mendirikan PE di negara tersebut. Dampaknya adalah perusahaan multinasional akan dikenakan pajak di lebih banyak negara.

Menurunkan ambang batas PE dapat memicu diskusi di masa depan antara wajib pajak dan otoritas pajak. Hal ini tidak hanya berlaku untuk status PE, namun yang lebih penting lagi adalah atribusi keuntungan PE (dan kewajiban pajak). Selain itu, biaya kepatuhan dan beban administratif kemungkinan besar akan meningkat.

Tindakan 8, 9, dan 10: Menyelaraskan hasil transfer pricing dengan penciptaan nilai: Mengubah regulasi transfer pricing untuk menyelaraskan hasil transfer pricing dengan penciptaan nilai.

BEPS Action Point 11: Mengukur dan memantau BEPS: Meningkatkan akses dan analisis data untuk mengukur dan memantau dampak kegiatan yang diambil untuk mengatasi BEPS. Tujuan dari Aksi 11 adalah untuk memastikan bahwa efektivitas dan dampak ekonomi dari tindakan yang diambil untuk mengatasi BEPS sudah efektif. Laporan akhir Aksi 11 berisi rekomendasi mengenai peningkatan akses dan peningkatan analisis data yang tersedia untuk mengukur BEPS, dan metode penyajian yang konsisten. Laporan ini menyediakan alat untuk membantu negara-negara dalam mengevaluasi dampak BEPS. Selain itu, hal ini memungkinkan mereka untuk mengukur dampak upaya pencegahan BEPS.

BEPS Action Point 12: Mewajibkan wajib pajak untuk mengungkapkan pengaturan perencanaan pajak mereka yang agresif: Mengembangkan rekomendasi mengenai desain peraturan pengungkapan wajib untuk pengaturan perencanaan pajak yang agresif.

Singkatnya, harus jelas apa yang dilakukan wajib pajak. Jika mereka menggunakan taktik agresif untuk menurunkan beban pajak, otoritas pajak mempunyai cara untuk mengatasi hal ini.

Laporan akhir mengenai Aksi 12 menguraikan pilihan-pilihan dan memberikan rekomendasi praktik terbaik. Hal ini memberikan pendekatan modular yang memberikan pilihan kepada negara-negara yang ingin menerapkan rezim pengungkapan wajib untuk memilih mana yang paling sesuai dengan kebutuhan mereka.

Laporan ini juga memberikan rekomendasi khusus mengenai aturan pengungkapan sehubungan dengan skema perpajakan internasional.

Terakhir, dokumen ini mengidentifikasi peluang untuk meningkatkan pertukaran informasi yang diperoleh negara-negara melalui peraturan tersebut.

BEPS Action Point 13: Periksa kembali dokumentasi harga transfer: Mengevaluasi dan memperbarui dokumentasi harga transfer untuk memastikan kepatuhan dengan standar internasional.

BEPS Action Point 14: Menjadikan mekanisme penyelesaian sengketa lebih efektif: Meningkatkan efektivitas mekanisme penyelesaian sengketa untuk menyelesaikan perselisihan terkait perjanjian pajak di bawah prosedur kesepakatan bersama.

Perselisihan semacam itu dapat timbul ketika dua yurisdiksi berbeda memiliki pendapat yang berbeda mengenai penafsiran atau penerapan perjanjian pajak.

Laporan akhir Action Point 14 mengakui perlunya peningkatan mekanisme penyelesaian sengketa untuk memastikan penyelesaian perselisihan terkait perjanjian berlangsung dengan cepat, efektif, dan efisien. Dalam menghadapi potensi peningkatan perselisihan akibat perubahan yang dihasilkan dari berbagai poin aksi BEPS, OECD mengembangkan standar minimum. Standar ini dirancang untuk memastikan bahwa perselisihan terkait perjanjian diselesaikan dengan cara yang cepat, efektif, dan efisien.

Untuk menerapkan standar minimum baru ini, diperlukan amandemen terhadap Model Konvensi Pajak OECD dan Komentarnya, serta undang-undang, peraturan dalam negeri, dan prosedur administratif lainnya. Selain itu, Instrumen Multilateral (Aksi 15) yang diterbitkan menetapkan jalur arbitrase yang mengikat wajib yang terpisah. Negara-negara bebas untuk memilih untuk mengadopsi prosedur ini.

Dengan demikian, Action Point 14 BEPS bertujuan untuk meningkatkan mekanisme penyelesaian sengketa perjanjian di bawah MAP, mengembangkan standar minimum untuk penyelesaian yang cepat dan efisien, serta memberikan kerangka kerja yang jelas bagi negara-negara untuk menyelesaikan perselisihan terkait perjanjian pajak lintas batas dengan lebih baik.

BEPS Action Point 15: Mengembangkan instrumen multilateral: bertujuan untuk mengembangkan Instrumen Multilateral (MLI) yang memungkinkan negara-negara untuk dengan cepat mengubah perjanjian pajak bilateral mereka untuk menerapkan langkah-langkah BEPS. Sebagian besar negara memiliki Perjanjian Pajak Berganda (DTT) dengan negara lain, namun, negosiasi ulang satu per satu akan memakan waktu lama.

MLI, yang diadopsi pada 24 November 2016, mencakup langkah-langkah BEPS ke dalam lebih dari 2.000 perjanjian perpajakan yang ada di seluruh dunia, terkait dengan Ketidakcocokan Hibrid, Penyalahgunaan Perjanjian, Penghindaran Status Bentuk Usaha Tetap secara Artifisial, dan Meningkatkan Penyelesaian Sengketa.

Negara-negara dapat memilih perjanjian mana yang akan tercakup dalam MLI dan bagaimana mereka memenuhi standar minimum. Pendekatan fleksibel ini berarti bahwa setiap perjanjian bilateral akan diubah dengan cara yang unik, bergantung pada bagaimana pihak-pihak dalam perjanjian tersebut mengadopsi ketentuan MLI.

Di antara kesepakatan yang dicapai, perubahan pasal perjanjian akan terjadi hanya jika kedua belah pihak setuju untuk mengubah perjanjian mereka dengan cara yang sama untuk pasal tertentu. Diperkirakan banyak negara akan berpartisipasi dalam acara match-making untuk mencapai kesepakatan mengenai standar minimum yang akan diterapkan dalam hubungan DTT mereka, yang akan mengikat untuk kepentingan penerapan DTT.

Dok Pribadi
Dok Pribadi

Implementasi Action Plan Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) tidak luput dari paradoks kepentingan yang dapat menghambat tujuan utamanya.

Kata paradoks berasal dari bahasa Yunani yang memiliki arti pendapat yang bertentangan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), paradoks adalah pernyataan yang seolah-olah bertentangan (berlawanan) dengan pendapat umum atau kebenaran. Sederhananya, paradoks adalah sebuah pernyataan yang bertentangan dengan apa yang seharusnya terjadi.

Umumnya, kata paradoks sering kali digunakan dengan kontradiksi, tetapi sebuah kontradiksi oleh definisi yang tidak benar. Dengan kata lain, banyak sekali paradoks yang memiliki sebuah jawaban, meskipun tetap tidak bisa terpecahkan atau hanya bisa dipecahkan dengan perdebatan.

Paradoks kepentingan sendiri adalah situasi di mana kepentingan individu atau kelompok terlihat bertentangan dengan kepentingan umum atau kepentingan yang lebih luas, namun pada akhirnya mengandung kebenaran atau kebenaran yang menarik. Dalam paradoks kepentingan, terdapat kontradiksi yang menarik antara apa yang tampaknya benar dan apa yang sebenarnya benar.

Salah satu paradoks yang muncul adalah mengenai upaya negara untuk meningkatkan pendapatan pajak dengan mengatasi Base Erosion and Profit Shifting, namun di sisi lain, mungkin akan ada perusahaan internasional yang enggan berinvestasi di negara tersebut jika action plan BEPS diterapkan, sehingga berpotensi mengurangi pendapatan pajak negara.

Selain itu, perusahaan multinasional memiliki kepentingan untuk memaksimalkan keuntungan dengan mengoptimalkan struktur perpajakan, namun di sisi lain, mereka juga harus mempertimbangkan tekanan dari pemerintah dan opini publik yang menuntut transparansi dan kepatuhan pajak, sehingga mereka harus memelihara reputasi mereka.

Tidak hanya itu, masyarakat umum juga memiliki paradoks kepentingan terkait pajak. Mereka menginginkan perusahaan membayar pajak yang adil dan berkontribusi pada masyarakat, namun di sisi lain, mereka juga berharap pemerintah memberikan insentif pajak kepada perusahaan untuk mendorong investasi dan penciptaan lapangan kerja.

BEPS Action Plan sendiri melibatkan kerjasama antar negara, namun negara-negara dapat memiliki kepentingan yang berbeda dalam mengadopsi standar baru atau mengikuti prosedur penegakan yang ketat, sehingga dapat menimbulkan ketidaksepakatan dan kesulitan dalam mencapai konsensus. Dalam hal ini, paradoks kepentingan menjadi tantangan yang harus dihadapi dalam implementasi BEPS Action Plan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun