Mohon tunggu...
Dicky Sugianto
Dicky Sugianto Mohon Tunggu... -

menutur, menyidik, dan memerhati; serta menyurat | seseorang yang tertarik dengan isu psikologi (terutama seksual minoritas dan geder) serta Theologia.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Pedofilia dan Pelaku Kekerasan Seksual Anak: Beda atau Sama?

18 Mei 2014   20:14 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:24 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Belakangan ini, kasus-kasus kekerasan/pelecehan seksual terhadap anak di Indonesia semakin banyak dan semakin gencar diberitakan. Pemberitaan terhadap kasus-kasus semacam ini yang banyak muncul di media di satu sisi merupakan hal yang mengerikan dan memprihatinkan, tetapi di sisi lain, hal ini mengindikasikan kesadaran yang lebih baik mengenai apa itu kekerasan/pelecehan seksual anak. Hal ini merupakan hal yang baik karena kesadaran tersebut membuat masyarakat ingin tahu lebih dalam mengenai isu kekerasan seksual (terutama terhadap anak) dan bagaimana menyikapinya.

Ketika saya membaca mengenai pemberitaan-pemberitaan tersebut, saya mendapati diri saya bertanya apakah pedofilia dan pelaku kekerasan seksual anak itu sama. Saya melihat beberapa pemberitaan seolah-olah mengidentikkan pelaku kekerasan seksual terhadap anak adalah seorang pedofilia. Jadi, samakah pedofil dengan pelaku kekerasan seksual anak?

Pengertian Pedofilia dan Kekerasan Seksual Anak

Pedofilia, mirip dengan namanya, merupakan bagian dari parafilia. Parafilia merujuk pada ketertarikan seksual apapun yang kuat dan menetap selain kepada stimulasi kelamin dan persiapannya (bahasa slang-nya foreplay) dengan partner manusia yang wajar, dewasa secara fisik, dan bersedia untuk melakukan aktivitas tersebut[1]. Parafilia sendiri belum menjadi gangguan mental selama penderitanya tidak mengalami beban psikologis (distress) atau kelumpuhan mental, dan tidak membuat individu tersebut melakukan hal-hal berbahaya pada diri sendiri maupun orang lain[1]. Selain itu, selama hawa nafsu seksual tidak muncul secara eksklusif pada individu atau objek yang tidak wajar (misalnya pada anak-anak), parafilia belum dapat dikatakan sebagai gangguan mental (istilahnya adalah gangguan parafilik[1])[2].

Pedofilia merupakan parafilia yang melibatkan ketertarikan seksual yang kuat terhadap anak-anak[2] (usia 13 tahun atau di bawahnya[1]), setara atau melebihi ketertarikan seksual terhadap orang dewasa[1]. Seseorang yang memiliki ketertarikan seksual terhadap anak-anak tetapi tidak merasa bersalah, malu, atau cemas; tidak mengalami kelumpuhan fungsi mental; dan tidak melakukan pelecehan seksual terhadap anak tidak dapat dikatakan sebagai orang dengan gangguan pedofilik[1]. Gangguan pedofilik memiliki karakteristik diagnostik tersendiri yang melibatkan objek seksual penderita (anak-anak tentunya), perilaku seksual penderita, karakteristik seksual penderita, dan waktu kemunculan pedofilianya. Selain itu, gangguan pedofilik dapat bersifat eksklusif (hanya tertarik secara seksual pada anak-anak, tidak pada orang dewasa) maupun noneksklusif.

Kekerasan seksual anak adalah interaksi apapun antara seorang anak dan seorang dewasa (atau anak-anak lainnya) dimana seorang anak menjadi sarana stimulasi seksual pelaku atau sebagai pengamat aktivitas seksual pelaku[3]. Kekerasan seksual anak dikarakteristikkan dengan posisi dominan orang dewasa yang membuatnya mampu untuk memaksa seorang anak ke dalam aktivitas seksual[4]. Kekerasan seksual anak dapat melibatkan meraba-raba kelamin anak, masturbasi, kontak oral-genital, penetrasi digital (penetrasi dengan jari (atau benda lain)), dan penetrasi vaginal dan anal[4]. Tidak hanya terkait dengan aktivitas fisik, kekerasan seksual anak juga melibatkan kontak non-fisik, seperti misalnya anak menyaksikan hubungan seksual orang dewasa atau pornografi anak[4].

Pelaku kekerasan seksual anak seringkali merupakan seseorang yang anak kenal dan percaya, biasanya merupakan anggota keluarga, kerabat, atau orang yang mengurus anak (bisa babysitter atau guru), maupun tetangga[4]. Biasanya pelaku adalah laki-laki, meskipun tidak menutup kemungkinan perempuan menjadi pelaku kekerasan seksual[4]. Tidak semua pelaku adalah orang dewasa, kadang pelaku juga anak di bawah usia 18 tahun[4]. Karakteristik pelaku kekerasan seksual anak meliputi pengalaman menjadi korban kekerasan (entah fisik ataupun seksual), penyalahgunaan alkohol ataupun narkotika, kendali emosi yang lemah, relasi seksual yang tidak memuaskan dengan orang dewasa, dan gangguan mental pada kasus tertentu[4].

Pedofilia dan Pelaku Kekerasan Anak: Apa Hubungannya?

Berdasarkan paparan di atas, sebenarnya hubungan pedofilia dan pelaku kekerasan anak tidak serta-merta bersifat sebab-akibat. Pelaku kekerasan seksual anak sesungguhnya kurang pantas apabila dilabeli sebagai “pedofil”. Hal ini dikarenakan orang-orang yang memiliki kecenderungan pedofilia belum tentu berkembang menjadi gangguan pedofilik (alias tidak memanifestasikan ketertarikan seksual “tidak wajar”nya tersebut), yang akhirnya menjadi pelaku kekerasan seksual anak. Dengan kata lain, tidak semua pelaku kekerasan seksual adalah orang dengan pedofilia.

Saya setuju dengan kumpulan tweet dari HIMPSI Jakarta Raya (@HIMPSIJaya) pada 10 Mei 2014 lalu. Administrator akun tersebut telah memberikan informasi yang saya pikir cukup lengkap mengenai pedofilia, termasuk di dalamnya kaitan antara orang dengan pedofilia dengan pelaku kekerasan anak. @HIMPSIJaya mencontohkan, apabila ada seorang suami yang tidak mendapatkan pelayanan seksual dari isterinya kemudian melampiaskannya kepada anak, suami tersebut tidak dapat dikatakan orang dengan pedofilia, melainkan seorang pelaku kekerasan terhadap anak.

Tambahan:

Pedofilia, Kekerasan Seksual Anak, dan Homoseksual: (sekali lagi) Apa Hubungannya?

Seperti yang kita bersama dengar dari pemberitaan media, pelaku kekerasan anak yang kebanyakan laki-laki memiliki korban yang kebanyakan laki-laki juga. Dari adanya fakta ini, saya mendengar kabar-kabar angin (baca: tanggapan dari orang-orang) bahwa pedofil (suatu istilah yang dilabelkan pada pelaku kekerasan seksual anak yang saya pertanyakan dalam tulisan ini) itu pasti juga memiliki “kelainan orientasi seksual” alias homoseksual. Tentu saja, hal ini membuat citra orang-orang homoseksual yang sudah buruk di mata masyarakat semakin buruk. Namun, benarkah orang-orang dengan pedofilia, terlebih pelaku kekerasan seksual anak, adalah homoseksual?

Pada kebanyakan kasus kekerasan seksual anak, pelaku adalah laki-laki dengan korban bisa laki-laki maupun perempuan. Pelaku kekerasan anak tersebut sebenarnya bisa heteroseksual maupun homoseksual[3]. Baik heteroseksual maupun homoseksual memiliki kemungkinan yang sama untuk melakukan kekerasan seksual terhadap anak[3][5]. Demikian juga saya menyimpulkan, baik orang-orang homoseksual maupun heteroseksual dapat memiliki pedofilia, tanpa salah satu orientasi seksual lebih besar kemungkinannya untuk memilikinya daripada yang lain[5]. Bahkan, dalam suatu studi beberapa dekade yang lalu, ditemukan bahwa pelaku kekerasan seksual baik terhadap anak laki-laki maupun perempuan adalah orang-orang heteroseksual[6]. Jadi, sebenarnya, pelaku kekerasan seksual anak yang memiliki orientasi seksual heteroseksual dapat melakukan kekerasan seksual terhadap anak laki-laki dan perempuan.

Kesimpulan

Pelaku kekerasan seksual terhadap anak dan orang dengan pedofilia merupakan dua kelompok yang berbeda. Orang dengan gangguan pedofilik kemungkinan besar dapat menjadi pelaku kekerasan seksual anak. Namun, pelaku kekerasan anak belum tentu adalah orang dengan gangguan pedofilik. Selain itu, orang dengan gangguan pedofilik dan pelaku kekerasan seksual anak (terutama pada anak laki-laki) belum tentu adalah seorang homoseksual. Orang dengan gangguan pedofilik dan pelaku kekerasan seksual anak dapat merupakan orang-orang heteroseksual maupun homoseksual.

Keterbatasan dan Pesan

Dalam membuat tulisan ini, saya hanya menggunakan pengetahuan permukaan dari sumber-sumber yang saya sebutkan di bagian referensi. Penelitian-penelitian empirik mengenai pedofilia dan kekerasan seksual terhadap anak sebenarnya sangat luas, hingga dapat membagi kekerasan seksual terhadap anak berdasarkan kelompok usia korban (hingga muncul istilah hebephilia, ephebophilia, dan teleiophilia). Ada kemungkinan besar bahwa tulisan ini belum lengkap dan kurang komprehensif. Meskipun demikian, sumber-sumber yang saya sebutkan di sini saya pikir sudah cukup untuk menjawab pertanyaan saya bahwa orang dengan pedofilia dan pelaku kekerasan seksual anak adalah dua kelompok yang berbeda. Apabila dalam tulisan ini Anda menemukan kekurangan atau hal yang ingin dikoreksi, silahkan berkomentar di tempat yang tersedia.

Saya mengerjakan tulisan ini dengan harapan ke depannya orang-orang akan lebih berhati-hati dalam melabeli kelompok orang tertentu. Istilah “pedofil” bukanlah sebuah label yang dapat diberikan secara bebas kepada orang-orang yang memiliki bagian dari sebuah gangguan mental tertentu. Hal ini juga meluas pada pelabelan dengan istilah lain seperti “autis” dan “ansos (anti-sosial)” yang sangat sering digunakan secara luas tetapi tidak mengandung makna yang benar. Singkatnya, mari kita berhenti melabeli seseorang, terutama melabelinya dengan nama suatu gangguan psikologis, apabila kita tidak sungguh-sungguh mengerti, menyelidiki, dan mendiagnosis suatu gangguan. Dengan demikian, harapannya kita tidak merendahkan atau membuat stigma yang negatif terhadap suatu kelompok tertentu.

Akhir kata, saya mengutip kata-kata Marshall Eriksen dari serial teve Amerika How I Meet Your Mother: “Well, where does any prejudice come from, Robin? A stereotype starts, and all of a sudden it spreads like wildfire.”

Referensi

[1] American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and statistic manual of mental disorders (edisi ke-5). Washington, DC: American Psychiatric Association Publishing.

[2] Durand, V. M. & Barlow, D. H. (2006). Essentials of abnormal psychology (edisi ke-4). Belmont, CA: Thompson & Wadsworth.

[3] American Psychological Association. (tanpa tahun). Child sexual abuse: What parents should know. Dipungut 18 Mei 2014 dari http://apa.org/pi/families/resources/child-sexual-abuse.aspx?item=1#

[4] American Psychological Association. (tanpa tahun). Understanding child sexual abuse: Education, Prevention, and Recovery. Dipungut 18 Mei 2014 dari http://apa.org/ pubs/info/brochures/sex-abuse.aspx

[5] Freund, K. & Watson, R. J. (1992). The proportions of heterosexual and homosexual pedophiles among sex offenders against children: An exploratory study. Journal of Sex & Marital Therapy, 18(1), 34-43. Dipungut 18 Mei 2014 pada bagian abstrak dari http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00926239208404356#.U3hCjyg6hBY

[6] Gorth, A. N. & Birnbaum, H. J. (1978). Adult sexual orientation and attraction to underage persons. Archives of Sexual Behavior, 7(3), 175-181. Dipungut 18 Mei 2014 dari http://link.springer.com/article/10.1007/BF01542377

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun