Mohon tunggu...
Free Idea
Free Idea Mohon Tunggu... lainnya -

Suka membaca dan lalu menulis. Berpikiran terbuka, tanpa sekat. Bebas berpikir, tetapi tidak menjadi liar berwacana

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Si Robot, Sahabatku

7 Januari 2014   11:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:04 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Setiap kakinya melangkah selalu terdengar suara tulang bergemeletak. Terasa ngilu di kuping yang mendengar. Kurang oli – begitu candanya jika ada yang bertanya kenapa tulangnya berbunyi seperti itu.

Julukan Si Robot, jadi nama populernya di sekolah. Aku dan dia adalah teman semeja di kelas. Aku jadi ikut terkenal sebagai temannya Si Robot.

Sudah robot, karatan pula – ejek salah seorang teman di kelas suatu kali. Seluruh kelas bergemuruh oleh tawa. Ternyata hanya aku yang tak tertawa. Bahkan dia, Si Robot, ikut tertawa terbahak-bahak.

Ia ditolak saat mendaftar ikut ekstra kulikuler PBB (Pasukan Baris Berbaris) di sekolah. Bukan karena kau tidak bisa berbaris, hanya saja suara tulangmu merusak konsentrasi murid lainnya – begitu alasan guru.

Sambil sedikit berkaca-kaca, dia berkata – sebenarnya Pak Guru suka caraku berbaris. Bahkan aku sangat bagus menurutnya. Saking bagusnya, Pak Guru takut dituduh menggunakan robot.

Aku diam sejenak, lalu tertawa terbahak-bahak. Dia akhirnya ikut tertawa. Sejak itu kami adalah sahabat, bukan lagi sekedar teman semeja. Bersama mentertawakan dunia.

Dia bercerita jika sudah berobat kemana-mana. Dokter ahli menyerah untuk menemukan apa masalah dalam tubuhnya. Dia normal – begitu kata dokter. Atau ilmu kami yang belum mampu mendeteksi apa yang salah dari tulangnya – tambah dokter lainnya dengan pasrah. Orang tuanya kaya raya. Semua dokter terkenal disambangi. Namun hasilnya sama. Tak diketemukan kelainan apa pun.

Tentu aneka macam pengobatan alternatif juga dicoba. Termasuk pergi ke orang pintar atau dukun. Hasilnya nihil. Suara tulangnya tetap bertahan.

Bahkan untuk mengecilkan volume suaranya saja mereka tidak bisa – begitu ayah dan ibunya bercanda.

Setelah tamat SMA, dia pergi melanjutkan pendidikan ke negeri China. Dia memang punya keturunan China dan sudah ikut kursus bahasa Mandarin sejak SD.

Kan kata orang, tuntutlah ilmu sampai ke negeri China – seloroh ayahnya. Ibunya hanya diam menahan isak.

Waktu itu, aku ikut melepas keberangkatannya di bandara Soekarno-Hatta.

Aku akan kuliah sebaik mungkin agar cepat lulus dan segera pulang ke Indonesia. Segera bertemu kembali denganmu – kata-katanya serius kali ini. Bahkan disudut matanya mulai menetes bulir air mata. Aku dan dia berpelukan. Ibunya melengos pura-pura tak melihat. Sementara sang ayah hanya senyum-senyum kecil sembari mengedipkan sebelah mata ke arahku.

Eh jangan lupa ke biara Sholin. Siapa tahu mereka tahu cara memperbaiki tulangmu – teriakku saat dia mulai melangkah masuk ke ruang tunggu pemberangkatan.

Dia berbalik dan tersenyum. Lalu menghilang dalam keramaian calon penumpang pesawat lainnya.

Selamat berjuang sahabat – bisikku

Selesai

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun