Mohon tunggu...
Dinda Sintya Dewi
Dinda Sintya Dewi Mohon Tunggu... -

Cinta adalah segalanya ...tanpa cinta apa arti dunia.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Dunia Kampus (Part 1)

9 Januari 2011   10:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:47 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selamat pagi kampus. Pagi yang gerah walaupun sang fajar masih malu-malu muncul di antara awan yang berarak. Mentari pagi itu membiaskan harapan dengan cahayanya yang lembut. Tapi sering kali ia bohong, janji awal kehidupan yang baik itu, biasanya ingkar ketika siang tiba. Kelembutan sang fajar kadang-kadang berganti menjadi garang dan membakar atau ia malah lenyap dan mempersembahkan hujan lebat.

Cahaya lembut pagi berpadu dengan dingin hingga menghasilkan embun. Titik air di atas daun itu tak pernah tergesa-gesa untuk jatuh ke bumi. Kontras dengan para mahasiswa, dosen dan pegawai di Kampus Bercorak Biru ini, meski malam baru saja di singkap matahari, mereka telah berarak memenuhi kampus. Mereka menyambut kedatangan keluarga baru, mahasiswa-mahasiwa baru yang dinyatakan lulus dan berhak mengenyam pendidikan di kampus ini, manusia-manusia berpakaian putih hitam. Ingatanku melesat jauh ke satu tahun yang lalu.

Aku berdiri di sebuah barisan bersama lainnya. Berbagai imaji bergeliat liar di kepalaku ketika itu, di labirin berpikir seorang mahasiswa baru yang baru saja lulus jenjang pendidikan SMU. Seorang siswa yang dengan mulus mampu lulus dari jerat Ujian Akhir Nasional dan dengan keberuntungannya berhasil berstatus mahasiswa Fakultas Ekonomi ’Kampus Biru’. Kampus, tempat ini telah lama menghiasi mimpi-mimpiku, tempat mahasiswa bergeliat dengan seabrek kegiatannya, berkuliah, berinteraksi dan berbagai kegiatan humanis lainnya.

Kala itu aku berharap dapat menempuh kegiatan akademik dengan menggunakan pakaian bebas, rupanya aku salah. Aku dan juga mahasiswa baru lain masih diwajibkan berseragam seperti ketika di sekolah dulu. Kami di wajibkan memakai pakaian berwarna seragam, putih dan hitam.

Mahasiswa-mahasiswa baru, teman-temanku kala itu, tampak beragam. Ada yang menyebut diri mereka adalah anak kota yang dahulu bersekolah di sebuah SMU pusat bukan SMU cabang, istilah yang selalu di gaungkan untuk mereka yang berasal dari sekolah daerah. Meski berasal dari kota yang sama namun mereka tetap beragam. Ada yang terlihat sederhana. Berpakaian seadanya. Berkendaraan umum. Tetapi ada pula yang terlihat mencerminkan masyarakat urban yang berkelas. Pakaian yang bermerk. Gaya berpakaian yang terlihat modern. Bahkan ke kampus dengan kendaraan pribadi. Bahkan terkadang mereka memilih teman, hanya bergaul sesamanya.

Sebagian mahasiswa baru berasal dari daerah. Individu-individu tersebut biasanya menyatu dalam sebuah kelompok berdasarkan asal mereka masing-masing. Beberapa di antara mereka memiliki bekal yang cukup untuk menjadi perantau. Biasanya mereka berasal dari keluarga ekonomi menengah ke atas. Tetapi ada yang hanya membawa mimpi dari sebuah kampung nun jauh disana, dari sebuah desa entah berantah. Secara fisik mereka tampak sederhana tapi dalam pikiran mereka tersimpan angan yang begitu tinggi untuk merubah keadaan menjadi lebih baik. Kelompok terakhir ini yang biasanya mendominasi organisasi kemahasiswaan.

Bagaimanapun keanekaragaman itu, semua menyatu dalam sebuah kegiatan penyambutan Mahasiswa Baru. Satu kegiatan, satu metode, satu sistem untuk beragam individu. Melebur perbedaan menjadi satu untuk menciptakan kebersamaan dan kesolidan. Sebuah proses yang tidak sekedar mengajarkan pengetahuan akademik dan kemampuan intelektual tetapi lebih dari itu kegiatan ini mampu membawaku ke ranah kecerdasan emosi, memberi jalan untuk memahami arti kedewasaan, bahkan membuatku mengerti arti perubahan. Memang kesadaran itu tak datang hari itu juga, namun kegiatan inilah yang membukanya, kegiatan inilah yang memulainya.

Seingatku, beberapa orang yang menyebut diri mereka senior terus berorasi di depan kami, walaupun terkadang kami tak mengerti dengan apa yang mereka sampaikan. Kata-kata mereka tidak familiar di telinga.

Setelah proses penyambutan dinyatakan selesai, di sinilah kami di hadapkan pada beberapa pilihan. Memilih jalan menjadi mahasiswa baru yang datang ke kampus, tidak mencoba menceburkan diri dalam organisasi apapun, belajar, lulus dan setelah itu terserah hendak kemana. Atau mencoba berjuang dengan mengikuti organisasi kemahasiswaan, namun dilakukan setengah-setengah. Atau menjadi mahasiswa yang kritis terhadap keadaan sekitarnya.

Aku tak begitu yakin memilih pintu yang mana di kala itu. Dengan keluguanku, aku mengenyam bahwa mahasiswa punya tanggung jawab sosial. Dengan kepolosanku, aku ingin berjuang dan dengan senang hati akan menceburkan diri dan bergeliat dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan. Kharisma serta retorika para senior-senior itu seakan menghipnotisku untuk memikul keharusan moral untuk membuat bangsa ini lebih baik.

Ketika ilalang-ilalang kampus menjemput diri
Sesuatu terpatri lugu dalam sanubari
Kutitip ego saat asa mengikuti
Ego yang membuatku berdiri, berlari dan terus berlari
`tuk menggapai cita dan impian yang pasti

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun