Mohon tunggu...
Isna R. Retnaningsih
Isna R. Retnaningsih Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

write to feels better, read to know another, share for the best future | hope Allah always blessed us for our struggle

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Taksi Lokal, Generasi Milenial dan Perubahan Sosial

7 Juli 2017   22:57 Diperbarui: 8 Juli 2017   09:43 1639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : industri.bisnis.com/

Belakangan ini, banyak sekali terjadi gesekan di masyarakat. Baik itu gesekan antar kelompok agama, antar level tokoh ataupun gesekan perbedaan opini pemikiran. Memang wajar, sebagai bangsa yang selalu ingin memperbaiki diri, berubah untuk jadi lebih baik ke depannya terjadi perbedaan. Namun, menjadi carut marut ketika ada yang ingin menasehati penguasa, dikatakan "mengujar kebencian". Memperbaiki masyarakat dengan dakwah, dikatakan "teroris-radikal", menghimpun massa menegakkan keadilan dikatakan "makar". Seolah ada permainan labelisasi. 

Ada pihak yang tak suka (dan dia menguasai akses media) menyudutkan yang lainnya dengan senjata labelisasi tadi. Sungguh ironi. Proses Demokrasi dan Kebebasan Berpendapat pun hanya ilusi. Menurut saya, hal ini terjadi karena masyarakat kita masih belum akrab dengan keniscayaan proses perubahan. Berikut ini saya akan memberi ilustrasi tentang taksi konvensional (lokal), generasi millenial dan keniscayaan perubahan sosial.

Dalam suatu perjalanan, saya sempat ngobrol dengan salah seorang supir taksi lokal Solo tentang polemik taksi online yang belakangan ini sedang ramai di Solo. Ketika saya tanya, "apakah bapak ikut demonstrasi penolakan taksi online?". Sambil menyetir dan tertawa ringan beliau menjawab, "nggak mbak, saya nggak ikut. Lebih baik waktu untuk demo saya pakai untuk narik". 

Ketika ditanya pendapatnya apakah pro atau kontra dengan hadirnya taksi berbasis aplikasi uber ini, bapak paruh baya ini punya pendapat yang menarik dari kebanyakan supir taksi konvensianal lainnya (yang umumnya menolak taksi online). Menurutnya, sebenarnya taksi online itu bagus, mudah dan menguntungkan bagi supir maupun konsumen.

Polemik tentang hadirnya taksi uber memang bukan fenomena baru. Seperti yang diberitakan pada Solopos.com (14/5/2017), supir taksi berdemo di halaman Balaikota Solo untuk menolak kehadiran taksi uber karena dinilai masih ilegal. Bahkan, mereka membentuk organisasi kemasyarakatan bernama  Barisan Anti Angkutan Ilegal (Bantai) dan telah berkoordinasi dengan kota-kota lainnya. Sebelum Solo, polemik ini telah terjadi di kota-kota besar lainnya di Indonesia. 

Dan jika kita lihat, meskipun menuai banyak penolakan namun realitanya taksi uber tetap eksis dan banyak diminati oleh konsumen. Jika saat ini taksi lokal di Solo berani berdemo untuk menolak Uber dengan alasan belum mengantongi ijin, lantas bagaimana nantinya jika Uber sudah berijin?. Tentu, taksi lokal mau tidak mau harus menerima kenyataan pahit untuk bersaing dengan mereka.

Perubahan Sosial di Era Digital

Satu potret permasalahan taksi uber tersebut tentunya tidak terlepas dari suatu keniscayaan perubahan sosial di Era Digital. Era dimana segala aktivitas, komunikasi, informasi dan transportasi melaju dengan cepat. Perubahan menuju era digital ini pernah dibaca oleh salah seorang ahli, Alvin Toffler. Toffler  menyatakan  bahwa peradaban gelombang ketiga ini ditandai dengan semakin berkembangnya teknologi alat komunikasi. Melalui analisisnya, setiap media teknologi yang berkembang akan berdampak pada perubahan empat sistem tatanan yang saling terkait.

Pertama, lingkungan dimana teknologi itu berkembang; kedua, pada budaya pertukaran informasi diantara masyarakat. Dari persinggungan antar kedua dampak ini akan membentuk  dampak ketiga, yakni wajah  kehidupan sosial (sosiosfer texture). Sehingga pada akhirnya dampak akhirnya yang keempat adalah dampak bagaimana kita berfikir, merasa dan berlaku (psikosfer).

Jika kita cermati, teori perubahan sosial ala Toffler ini sangat relevan telah hadir di depan mata kita. Dimana salah satu contohnya adalah fenomena taksi uber. Hadirnya teknologi baru sebagai solusi atas permasalahan lamanya pelayanan, tidak efektif dan mahal, membentuk wajah baru masyarakat. Yang awalnya masyarakat enjoy saja dengan taksi konvensional, beralih menjadi wajah baru pengguna taksi uber.

Namun, namanya saja perubahan. Pasti ada proses gesekan, pertentangan dan ketidaksiapan sebelum tujuan perubahan itu tercapai. Pada perubahan sosial di Era digital ini, tak semua generasi dari masyarakat mampu beradaptasi. Perubahan pada era digital ini, generasi millenial-lah yang paling siap menerimanya.

Mengapa? Karena generasi millenial atau Generasi Y adalah mereka yang lahir 1980 - 1990, atau pada awal 2000, yang tumbuh dalam lingkungan serba digital. Sehingga untuk beradaptasi dalam rangka menyambut perubahan era digital ini dia adalah digital native, warga pribuminya (penduduk asli).

Sedangkan immigran digital atau alien-nya adalah Generasi X (yang lahir di tahun 1965-1979) atau sebelum sebelumnya. Meskipun dengan kelebihan secara finansial mereka mampu membeli semua teknologi, namun penggunaan terbatas sehingga mereka tak semuanya steady menghadapi perubahan sosial di era digital ini. Terjadilah cultural syok pada generasi lama ini.

Selain itu, bonus demografi yang akan dipanen oleh Indonesia pada tahun 2020-2030 mau tidak mau menjadikan penduduk Indonesia lebih didominasi oleh Generasi Millenial ini. Jadi, kalau bicara itung-itungan kasar maka generasi melek gadget inilah yang diprediksi harus dihadapi oleh taksi konvensional. 

Sebagai konsumen, pemikiran dan perilakunya sudah terpengaruh oleh gadget sehingga lebih memilih hal-hal yang praktis dan instan. Karena taksi konvensional kalah saing, uber pun menjadi primadona. Akhirnya, perubahan sosial dalam aspek transportasi taksi mampu membentuk wajah baru berupa taksi uber, cepat atau lambat. Seperti yang terjadi pada GOJEK, bukan?.

Itulah keniscayaan perubahan sosial di masyarakat yang saya prediksi akan dialami oleh taksi lokal di Solo. Jika kita lihat, meskipun upaya penertiban oleh beberapa komponen pemerintah dilakukan namun tak bisa dipungkiri konsumen atau masyarakat menjadi penentu utama gelombang arah perubahan sosial ini. Maka alangkah lebih bijak jika pemerintah mampu berkoordinasi dengan berbagai pihak agar gesekan yang terjadi tidak terlalu tajam.

Lantas bagaimana menurut anda, relevan kah ilustrasi di atas dengan gesekan yang terjadi saat ini di Indonesia?

Perubahan itu adalah keniscayaan, tinggal bagaimana kita menyambutnya untuk masa depan bangsa yang lebih baik. Yang terpenting adalah bagaimana kita selalu membuka mata, pikiran dan diskusi jika tak sependapat. Bukan lantas mencaci, labelisasi dan menutup telinga. Betul?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun