Ketiga, Masyarakat. anak-anak kita ini selain bersentuhan dengan orang tua dan guru, mereka pun tak bisa lepas dari berbagai persinggungan dengan lingkungan masyarakat sekitar dia hidup. Untuk itu diperlukan kesadaran juga kerjasama dari berbagai elemen di masyarakat untuk turut memberikan nuansa pendidikan positif bagi anak-anak kita ini. Salah satu elemen tersebut adalah pihak pengelola stasiun TV. Banyak riset menyimpulkan bahwa pengaruh media (terutama TV) terhadap perilaku anak (sebagai salah satu penikmat acara TV) cukup besar. Berbagai tayangan kriminal di berbagai satsiun TV, tanpa kita sadari telah menampilkan potret-potret kekerasan yang tentu ini akan berpengaruh paa pembentuk mental dan pribadi anak. Menjadi tanggung jawab penyelenggara siaran TV untuk mendesain acaranya dengan acara yang banyak mengandung unsur edukasi yang positif.
Keempat, pemerintah. Pemerintah adalah pihak yang bertanggung jawab penuh terhadap kemashlahatan rakyatnya, termasuk dalam hal ini adalah menjamin masa depan bagi anak-anak kita sebagai generasi penerus. Bahwa orang tua berkewajiban menyayangi, mendidik dan melindungi anak-anaknya, itu benar. Namun ini bukan berarti, negara lantas melepas tanggung jawabnya. Untuk membumikan Konvensi-Konvensi yang telah diratifikasi, selain pengembangan sistem hukum formalnya, dibutuhkan juga perubahan yang sifatnya struktural. Adalah hal yang mustahil berharap masyarakat menyadari arti penting hak-hak anak jika disaat yang sama ternyata negara dan elit-elit politik masih belum memiliki sensitivitas terhadap persoalan anak. Padahal negara adalah pemegang kunci dalam pemenuhan hak-hak anak. Dapat dikatakan bahwa tidak terpenuhinya hak anak secara optimal karena tidak ada penjaminan yang jelas oleh negara.
Upaya Negara : Masih sebatas Wacana dan Retorika
Meskipun negara melakukan upaya-upaya penanganan setelah kasus kekerasan pada anak atau mulai meratifikasi RUU Perlindungan anak, namun upaya ini dinilai tidak cukup. Hal ini senada dengan pernyataan Asrorun Niam Sholeh (Ketua KPAI) menilai bahwa dari tahun ke tahun masih terjadi peningkatan kejadian kekerasan anak. Meskipun pada tahun 2015 terjadi penurunan, namun jumlah pelaku bertambah. Hal in bisa saja terjadi karena belum tentu semua kasus tidak luput dari pelaporan.
Negara gagal melindungi anak bangsa dari ancaman kekerasan anak jika hanya mengatasinya dari aspek ‘kuratif’ saja tanpa menjamah aspek ‘preventif’ yang justru aspek penting dalam membendung hulu dari kekerasan anak. Diantaranya kebijakan negara yang masih longgar terhadap peredaran film-film, media dan hal-hal yang berbau kekerasan atau pornografi yang menjadi pemicu tindak kekerasan. Hal ini tentu membutuhkan peran inter-sektoral dalam mengatasi kekerasan anak ini. Misal peran dari KPAI, Kementerian Pendidikan, Kementerian Komunikasi dan Informasi dan pihak-pihak lainnya. Termasuk dari peran negara menjamin tercukupinya lapangan pekerjaan untuk menopang perekonomian setiap keluarga. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa faktor pemicu kekerasan pada anak salah satunya adalah kemiskinan, seperti yang diungkap oleh Kak Seto.
Jika kita menginginkan generasi masa depan tumbuh dengan lebih baik, sangatlah wajar apabila anak-anak harus mendapatkan perhatian. anak harus mendapatkan jaminan keberlangsungan hidup dan perkembangannya di bawah naungan ketetapan hukum yang pasti, yang harus dijalankan semua pihak, baik keluarga masyarakat maupun pemerintah (negara). Sehingga anak bisa tumbuh dan berkembang dengan baik serta jauh dari berbagai tindak kekerasan. Karena kita sadari kekerasan telah meremukkan kekayaan imajinasi, keriangan hati, kreatifitas, bahkan masa depan anak-anak kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H