Mohon tunggu...
Isna R. Retnaningsih
Isna R. Retnaningsih Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

write to feels better, read to know another, share for the best future | hope Allah always blessed us for our struggle

Selanjutnya

Tutup

Edukasi Artikel Utama

Pelayanan Kesehatan Perempuan (Masih) Setengah Hati

13 April 2015   06:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:11 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beauty. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pelayanan Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan primer yang tak terpisahkan dari setiap manusia, baik laki-laki ataupun perempuan. Pada satu decade terakhir ini muncul suara kebanyakan perempuan menuntut keadilan pemenuhan hak bagi perempuan seperti keadilan gender, pengurangan jam kerja, perlindungan perempuan dari KDRT termasuk hak pelayanan kesehatan yang adil bagi mereka. Indikator keberhasilan pelayanan kesehatan perempuan terutama ditunjukkan oleh Angka Kematian Ibu (AKI). Data AKI terakhir dari SDKI Indonesia masih tinggi yakni 307 Angka Kematian /100.000 kelahiran hidup masih jauh dari target Program Safe Motherhood Depkes tahun 2000 seharusnya 225 Angka Kematian /100.000 kelahiran hidup.  Belum lagi keprihatinan kondisi perempuan remaja nya diperparah oleh angka aborsi yang tiap tahunnya selalu meningkat lebih dari 2,3 juta jiwa dicatat oleh BKKBN pada 2014. Angka KDRT yang juga tidak sedikit sehingga tak jarang yang berujung pada perceraian. Jikalau dilihat dari konsep Safe Motherhood , berbagai masalah yang semakin memprihatinkan ini terjadi tentu tak terlepas dari dua faktor yaitu faktor teknis dan nonteknis.

Faktor teknis mulai dari tenaga kesehatan, fasilitas, pelaksanaan dan program kesehatan yang dirancang. Sedangkan faktor non teknis merupakan faktor yang vital diantaranya distribusi pelayanan kesehatan, distribusi nakes dan kebijakan pemerintah. Pelayanan kesehatan yang diperoleh perempuan yang erat dengan kesehatan reproduksi remaja, ibu dan anak ditangani oleh tenaga bidan di Indonesia masih dirasa kurang memadai baik dari segi kwalitas ataupun kuantitasnya, belum lagi distribusi tenaga kesehatan bagi perempuan. Menurut Data Kemenkes, tenaga bidan di daerah tertinggal di Indonesia masih jauh dari cukup karena adanya masalah distribusi yang tidak merata. Sedangkan regulasi dalam sector kesehatan hingga saat ini justru semakin semrawut bisa dilihat dari seberapa sulitnya masyarakat yang ingin mengakses kesehatan. Hal ini diperparah dengan adanya kebijakan baru BPJS, dimana ketika tenaga kesehatan terutama dalam hal ini bidan dipersulit oleh alur rujukan yang harus ditaati. Seolah-olah tiada melihat bagaimana kegawat-daruratan pasien ibu melahirkan tersebut bertaruh nyawanya atau bayinya.

Beginilah gambaran pelayanan kesehatan yang sampai detik ini harus ditelan pahit oleh perempuan. Dimana ketika kebutuhan primer ini saat ini menjadi barang mewah dan tidak semua orang bisa mengakses. Sampai kapanpun ketika kita ingin pelayanan kesehatan yang prima tetapi dalam waktu yang sama juga harus mematok ‘tarif’ disesuaikan dengan pelayanan, kita tiada akan pernah menemukan ujung pangkal solusinya. Karena kesehatan ibarat seperti oksigen yang kiranya setiap hirupan nafasnya adalah bebas dari patokan harga, jadi coba bayangkan betapa sesaknya orang yang ketika ingin menghirup oksigen saja harus membayar terlebih dahulu?. Ketika berbicara bahwa kesehatan adalah hak seluruh manusia, seharusnya kesehatan adalah barang murah yang didapatkan dengan mudah. Hal ini terjadi akibat Negara lepas tangan secara penuh pada tersedianya kesehatan. Negara menyerahkan urusan ini pada tangan-tangan swasta atau individu rakyat saja. Dan ketika membantu memberikan dana kesehatan pun masih setengah hati. Hal ini terlihat jelas perbedaan fasilitas kesehatan Negara yang tertinggal dari pelayanan swasta, misalnya.

Apalagi perempuan, menjadi sangat berharga derajat dan kedudukannya. Karena dari rahim-rahim mereka lah generasi-generasi cemerlang dilahirkan. Ketika sedari dulu permasalahan kesehatan perempuan tiada beranjak dari masalah sekitar akses, tenaga kesehatan, mahalnya kesehatan dan kebijakan yang memberatkan kini, saatnya kita mengubah cara pandang yang pragmatis menjadi cara pandang adil untuk perempuan.

Tentu mengubah cara pandang dari ‘profit oriented’ menjadi cara pandang keadilan sangatlah sulit. Kesehatan perempuan bukanlah masalah yang berdiri sendiri yang didukung oleh pemerintah, masyarakat dan individu yang punya cara pandang lain. Ketiga nya bersinergi dalam satu ideologi dari Pemilik Alam Semesta, yakni dari Allah. Ketika Tuhan telah menurunkan seperangkat aturan yang luar biasa untuk menusia dan terbukti selama 13 abad bisa mengatur manusia dengan sempurna. Perekonomian yang stabil, Militer Pertahanan yang tangguh, Masyarakat yang aktif dan kooperatif, Pergaulan yang tanpa masalah social, Kesehatan, Pendidikan yang merata bisa diakses oleh siapa saja. Disanalah Islam mengatur. Disaat Komunisme gagal berabad-abad lalu dan sekarang cara pandang kapitalisme mulai menuju kelapukannya. Mengapa kita tidak secara bijak mencoba menerapkan ideologi Islam?. Karena dengan pengaturan Islam lah kesehatan didapatkan secara gratis, karena peran negera adalah sebagai fasilitator rakyat. Bukan sebagai regulator apalagi hubungan untung-rugi saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun