[caption caption="Gambar: Twitter Resmi Commuterline"][/caption]
Sabtu itu, awal November 2015, sekira pukul 16.00 WIB, saya masih melakukan aktivitas. Masih berada di kantor dan harus pulang pukul 16.30 WIB. Perjalanan dari kantor menuju kos di Cempaka Putih, Jakarta Pusat, menghabiskan waktu paling tidak setengah jam, meski jarak kos dan kantor hanya 3 kilometer.
Barangsiapa yang menganggap aneh jarak tempuh dan waktu tempuh itu sudah pasti ia belum memahami bagaimana arus kendaraan di Ibukota Jakarta. Bayangkan, di beberapa titik Ibukota, ada yang harus memakan waktu tempuh satu jam meski jaraknya hanya 3 kilometer.
Seperti perkiraan, saya akhirnya sampai di kos tepat pukul 17.00 WIB. Perkiraan waktu yang tepat, saya lalui dengan gerak cepat. Tak ubahnya jalan pulang tadi, di kos pun saya harus gerak cepat. Mandi, menata perkakas bawaan, sampai menelisik hal ihwal kamar kos.
Tak ingin ada yang tertinggal, saya kroscek kembali barang-barang bawaan di tas. Peralatan komunikasi dan perlengkapannya, kamera, pakaian, hingga perkakas dompet. Astaga, satu barang onderdil komunikasi saya tertinggal di kantor. Barang yang tertinggal harus diambil. Penting. Kalau tidak, saya tak mampu berkomunikasi. Saya harus bergerak lebih cepat. Kalau tidak, mana mungkin saya akan tiba pukul 08.00 WIB di Bogor.
Di kantor masih ada rekan yang sengaja berleha-leha. Menghabiskan waktu di depan komputer kerjanya. Sambil berlagak acuh tak acuh, rekan saya bertanya, "Katanya mau ke Bogor. Naik motor atau naik umum?" Saya jawab, sambil meninggalkan ruangan kantor, "Commuterline, Bro!"
Dengan segala kepadatan arus lalu lintas di jalan raya, akhirnya saya tiba di Stasiun Juanda pukul 19.10 WIB. Di stasiun, saya harus antre. Bukan rahasia umum lagi, retan pukul 17.00 WIB hingga pukul 20.00 WIB adalah jam padat penumpang commuterline. Tak ayal, saya berdesakan mengantre. Cuma membeli tiket, saya sudah menghabiskan waktu 10 menit lebih. Barulah pukul setengah delapan malam harus bisa dengan tenang menunggu kereta listrik datang.
Untunglah tak berapa lama menunggu di stasiun, kereta bertenaga listrik itu tiba. Semua juga tahu, yang namanya kereta api sekarang datang dan pergi tepat waktu. Tak terbayangkan kalau saya harus menggunakan bus umum.
Sampai di stasiun Bogor tepat pukul 20.45 WIB. Sama seperti rekan-rekan saya yang tinggal di Bogor dan bekerja di Jakarta, mereka mengidolakan KRL karena waktu tempuh Jakarta-Bogor relatif hanya 1 jam. Sungguh malang seandainya mereka yang hilir mudik Jakarta-Bogor demi setumpuk rezeki itu tanpa kereta. KRL sungguh-sungguh membantu mereka.
"Hallo, Bro!" tiba-tiba sahabat saya menyapa saat saya tiba di parkiran stasiun Bogor. Sesuai janjinya lewat pesan singkat.
Tak lama, kami segera menuju rumah sahabat saya di daerah Katulampa. Perjalanan kurang lebih setengah jam dengan sepeda motor. Sesampainya di rumah, saya lihat jam dinding. Ternyata waktu sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh lewat sepuluh. Wow, jauh dari kesepakatan kami pekan lalu, semestinya saya tiba di rumahnya pukul 20.00 WIB.
"Capek, Bro? Istirahat dululah. Sebentar gue buatin kopi dulu," katanya.
Saya menceritakan hal ihwal keberangkatan dari kantor hingga stasiun Juanda. Lantas, satu hal yang ia utarakan ialah ihwal kartu. Ternyata, untuk mempermudah akses keluar masuk tanpa antre, kini sudah ada kartu multitrip KRL. Tentu saya baru tahu hal itu. Dia menjelaskan, kartu multitrip menguntungkan bagi pelanggan yang hilir mudik Bogor-Jakarta setiap hari. Efisien waktu dan praktis. Begitu inti penjelasannya.
Hari sudah larut. Besok pagi-pagi sekali kami ada acara hajatan. Saya ingin melepas lelah, begitu juga dia. Saya tertidur ala kadarnya, di rumah sahabat. Perjalanan yang membuat saya berpikir bahwa KRL pantas diutamakan.
Gambar: Twitter Resmi Commuterline
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H