Empati Jokowi
Baru terhitung hari Jokowi memimpin Ibu Kota, Jakarta. Kemeriahan dan gegap gempita Jokowi masih terus dikumandangkan media-media massa, baik cetak, elektronik, maupun online. Seakan-akan mengawal Jokowi, media masif memberita ke ruang publik itu, yang kemudian ditanggapi masyarakat luas, hingga masyarakat non-Jakarta.
Uniknya, masyarakat dominan bangga terhadap kepemimpinana Jokowi. Sebelumnya, kontestasi Jokowi-Ahok dengan Foke-Nara terbilang tidak sengit. Mutlak dimenangkan oleh pasangan Jokowi-Ahok.
Sebelum kemenangan ditetapkan panitia pemilu DKI Jakarta, masyarakat telah berempati terhadap pemimpin yang telah memimpin Kota Solo selama dua periode itu. Setelah pengumuman pun, masyarakat, khususnya masyarakat Jakarta, kerap menceritakan perihal kepemimpinan dan sosok Jokowi itu, bahkan dengan diringi Partai Pengusung Jokowi. Seperti pengalaman Penulis di salah satu rumah makan, Jakarta Pusat, seorang pengunjung rumah makan sangat fokus menonton pemeritaan Jokowi saat Jokowi turun langsung ke lapangan (gang ke gang). Ia langsung berseru, “Salut sama Jokowi. Pemimpin kayak gini yang ditunggu-tunggu.”
Baliho-baliho mengenai dukungan dan ucapan selamat kepada Jokowi masih terpasang lebar di tepi-tepi jalan. Selama itu pula pembicaraan tentang Jokowi dan dukungan kepada Jokowi masih ramai dibicarakan di warung-warung, di rumah-rumah, di toko-toko, dan halte-halte, bahkan di tempat-tempat beribadah. Jokowi telah mendapati empati masyarakat dominan Ibu Kota.
Film Heroik
Kita dapat tergerak empatis ketika menonton suatu film. Kita kagum atas apa yang terjadi di dalam film. Sesungguhnya, empati yang bersifat emosionil itu tidak akan pernah terjadi bila film tidak mengandung tokoh heroik.
Film-film Hollywood, seperti Transformer, Superman, X-men, Tomb Rider, maupun Spiderman, mampu meraih pasar global. Bukan hanya pada film-film heroik, melainkan juga melalui cerita-cerita klasik, seperti Wirosableng. Tokoh superhero itu kerap datang tiba-tiba di saat genting. Tidak memerlukan imbalan. Berpenampilan sederhana, kecuali beberapa film Hollywood yang didesain agar terkesan modernis.
Bagaimana dengan mentalitas superhero? Tokoh superhero tidak kenal lelah. Kerap mendapat ucapakan terima kasih dari lingkungannya. Bertenaga kuat. Selain itu, berkarakter tidak sombong dan tidak angkuh.
Dalam persoalan wajah dan tubuh, seringkali wajah-wajah superhero dianggap buruk. Tidak sesuai dengan ketampanan atau kecantikan, standar lingkungannya. Mengenai tubuh, ada superhero yang bertubuh kekar dan ada pula superhero yang bertubuh lemah. Coba perhatikan bagaimana tokoh Batman dan X-men tidak menunjukkan wajahnya ke publik. Sosok film Saholin Templars bertubuh kecil. Justru di sanalah, kontradiksi wajah dan tubuh itu menampilkan empati bagi penontonnya.
Superhero
Bisa bisa dipungkuri bahwa naluri empati terhadap heroisme akan terus berlanjut di dalam kehidupan bermasyarakat. Apalagi dengan adanya film-film superhero yang sering diputar di layar lebar, bioskop maupun televisi. Naluri klasik ini bukan wujud baru dan bukan pertanda kelemahan (kerap disebut-sebut Melowdramatik) masyarakat, sebab jauh sebelum zaman masehi dimulai telah ada empati heroisme ini melalui narasi-narasi klasik atau cerita-cerita dongeng dan sejenisnya.
Di tengah-tengah kebobrokan Kota Jakarta, muncul sosok Jokowi mencalonkan diri sebagai gubernur DKI Jakarta. Jokowi datang ibarat sosok heroik bagi masyarakat, di tengah-tengah penumpukan persoalan Kota Jakarta, seperti korupsi, kemacetan, banjir, ketidaksejahteraan rakyat, hingga masalah tata ruang kota. Jokowi mengusung, dengan pendekat budaya yang apik, baju kotak-kotak sebagai anggapan bahwa dirinya dekat dengan masyarakat. Benar saja, motif kotak-kotak, yang telah ada sejak lama di Nusantara ini pada ornamen-ornamen rumah tangga maupun ornamen tubuh, sebagai simbol kekerabatan, mampu direproduksi kembali oleh Jokowi cs ke publik Jakarta.
Jokowi tidak menggebu-gebu, wajahnya tidak lebih tampan dari Fauzi Bowo, gayanya santai, dan tidak berpenampilan mewah. Jokowi muncul dari track record kepemimpinan Kota Solo, yang dikenal sebagai pemimpin yang tidak menerima gaji (imbalan). Mentalitas yang kuat pun ditunjukkannya saat lawan-lawan kontestasi pemilu DKI Jakarta menyerangkan melalui rasisme dan agama. Keberterimaan masyarakat atas keberadaan Jokowi sebagai orang No. 1 DKI Jakarta semakin kuat. Masyarakat semakin empati. Di sanalah Jokowi berperan sebagai superhero.
Kini dan mendatang, masyarakat hanya menunggu apakah tokoh heroik itu mampu memberikan happy ending atau tidak. Seperti film-film heroik umumnya, film yang berempati tinggi dan sedikit kekecewaan adalah film yang tokoh heronya memberikan kemenangan bagi apa yang diperjuangkannya, namun diri sendiri mati bersama tokoh antagonis (musuh). Ada pula film yang benar-benar heroik dan murni (pure) happy ending di kala sang tokoh hero mampu tersenyum usai mengalahkan musuh. Atau sebaliknya, tokoh heroik itu mati di tangan musuh. Perjalanan Jokowi masih lima tahun lagi.
(ditulis pada sebulan setelah pilkada DKI)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H