Munculnya Jurnalisme Kuning (Yellow Journalism) di Amerika Serikat pada abad pertengahan ke-19, akibat persaingan bisnis digital antar media dengan beragam pemberitaan kekerasan, kemiskinan, seksualitas hingga hedonisme, belakangan menyasar kandidat/figur publik di tanah air dalam mengkampanyekan visi dan misi di setiap kontestasi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota.
Praktek Jurnalisme Kuning figur publik sangat terasa di Pilpres 2024. Terutama elit politik yang telah mendramatisir segala sesuatu yang tampak sederhana dan personal, berkembang menjadi lahan basah bagi media dalam mencari animo/perhatian pembacanya.
Maka, munculkan berbagai judul dan topik bombastis seputar kehidupan personal dari figur publik tertentu, yang pada akhirnya ikut mempengaruhi elektabilitas parpol.
Beberapa partai politik besar tanah air yang selama beberapa dasawarsa sangat mendominasi peta perpolitikan tanah air, dalam hitungan jam, menurun drastis.
Akibat keangkuhan dan dramatisasi kisahnya terhadap kandidat hingga figur publik tertentu.
Persoalan tersebut dari kacamata pemilih Milenial adalah sesuatu yang kurang mencerminkan etis-profetis.
Beralih dari problematika tersebut, kita juga akan melihat bersama sepak terjang para kandidat yang akan bertarung di Pilkada 2024, baik di tingkat provinsi, kota hingga kabupaten.
Meskipun Pilkada 2024 akan berlangsung pada tanggal 27 November 2024 mendatang, namun unsur jurnalisme kuning dari setiap figur publik sudah terasa di tengah kehidupan bermasyarakat.
Masyarakat selaku objek dari sengitnya pertarungan reputasi sekaligus elektabilitas parpol, seakan tak berdaya dengan banyaknya drama satirisme para kandidat.
Salah satu ruang mediasi yang biasanya dijadikan sebagai bahan referensi warga dalam mencari valid dan tidaknya informasi, yakni: Media pun hanyut dalam euforia tersebut.
Tentunya media akan mengikuti pemikiran dari pemodal/investor.
Apabila pemilik modal adalah seorang politikus, maka framing atau bingkai pemberitaannya juga tidak jauh dari reputasi kandidatnya.
Sama halnya, hubungan kedekatan politikus dengan pekerja media.
Di mana komunikasi keduanya, bertujuan untuk kepentingan dan kemakmuran bersama.
Lanskap kapatilisme media sejak demokrasi liberal hingga Orde Baru bahkan jurnalisme online saat ini pun tidak jauh berbeda dengan jurnalisme kuning di pertengahan abad ke-19 di Amerika Serikat.
Jika saat itu, jurnalisme kuning menyebabkan ketegangan antara Spanyol dan Amerika Serikat di Kuba, hari ini dan ke depan, sebagai pemilih kita akan terus menyaksikan dramatisasi kehidupan media dan juga figur publik.
Euforia tersebut kian terasa dengan berembusnya beberapa kader dari partai politik dalam pertarungan Pilkada 2024.
Untuk menyikapi fenomena tersebut, tugas kita sebagai pemilih adalah memberikan hak suara kita kepada salah satu kader atau figur publik sesuai dengan hati nurani kita.
Bukan sebaliknya, kita mengikuti perang opini, di balik glamouritas pemberitaan jurnalisme kuning yang tersaji di balik framing media-media terafiliasi dengan figur publik tertentu.Â
Sumber rujukan: Journalism Today
Blog Pribadi: www.tafenpah.com
YouTube: TAFENPAH GROUPÂ
TikTok: @tafenpah.com
Instagram: @suni_fredy
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H