Pemilihan calon presiden dan wakil presiden 2024 merupakan bagian dari upaya pendobrakan generasi milenial terhadap dominasi kultus politik senioritas.
Tentu saja ini sangat sexy. Saking sexynya, urusan keluarga pun menjadi objektivitas pemberitaan media massa, termasuk soal makan dan bisa jadi nantinya dimakan di Istana Merdeka dalam beberapa bulan atau tahun mendatang, setelah pergantian presiden. Tetapi bukan itu persoalannya, ya.
Kira-kira apa saja yang menyebabkan problematika di atas?
Pertama: sejak era orde lama hingga zaman reformasi bahkan saat ini, demokrasi dipandang sebagai sesuatu yang agung, dalam hal ini pendewaan sosok tertentu dalam partai politik.
Misalnya: anggota partai mendewakan ketua umumnya. Bisa juga kader tertentu mendewakan dirinya sendiri dan pemikirannya lah yang paling benar dan orang lain (kultus pribadi).
Masih pada poin pertama, terutama keagungan sosok tertentu di dalam partai politik.
Padahal, yang kita ketahui bersama, di dunia ini yang namanya 'AGUNG' hanya satu, yakni: Tuhan yang kita imani.Â
Lebih jauhnya, kultus pribadi, biasanya berlaku di negara monarki, teokrasi, dan negara yang menganut sistem demokrasi, tapi gatot, alias gagal total.
Lantas, apakah sistem demokrasi di negara kita gagal?
Jawabannya, tidak! Justru negara penganut demokrasi lain mengajungi jempol dengan setiap penyelenggaran pesta demokrasi serentak, karena kita melaksanakannya dengan adil, jujur, dan tertib.