Culture shock ternyata tidak hanya terjadi, ketika seseorang pertama kali tinggal di tempat baru. Karena berhadapan dengan situasi kebudayaan orang lain. Tapi, culture shock juga terjadi dalam dunia politik tanah air, terutama majunya Gibran Rakabuming Raka bersama Prabowo Subianto di bursa pilpres 2024.
Perasaan cemas dan takut pun kian menghantui para elite partai politik. Lantaran, Gibran Rakabuming Raka telah mencabik-cabik tatanan politik tanah air, yang selama ini hanya menjadi milik segelintir elite tertentu dalam menentukan kandidat terbaiknya.
Untuk mengusir rasa ketakutan dan kekagetan tersebut, para elite bersama dengan buzzernya mulai memainkan ragam propaganda. Itulah sajian yang tiap hari kita saksikan di berbagai platform media sosial instagram, tiktok, facebook, youtube, dll.
Tampak dari kejauhan pun, masing-masing pendukung cawapres dan capres mulai membangun tembok, sembari melemparkan senyuman di balik embel-embel humanistik. Sambil berharap, temboknya lah yang menjadi terbaik dan terkuat, di antara kandidat lain.
Dalam diskursus ini, pikiran kita pun tertuju pada pekikan bapak bangsa, Bung Karno yang pernah mengatakan,"Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia."
Lah, baru satu pemuda dari Solo, kok semua pada repot. Bagaimana jika 9 pemuda lainnya ditambahkan? Tak bisa dibayangkan, entah jadi apanya kebisingan di jagat media maya.
Berkaca dari apa yang kita alami dan rasakan saat ini, terutama soal nuansa politik tanah air menjelang pilpres 2024, sebagai milenial rasa-rasanya politik ini tidak lebih dari ajang penyeroyokan opini, demi memenangkan satu kandidat. Meskipun menghalalkan segala cara.
Perihal menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan kelompok tertentu di bidang politik, ini bukan menjadi hal baru lagi di mata warga Indonesia. Toh, semuanya sudah pada tahu, kok.Â
Jauh daripada ini, sebagai pegiat literasi digital, kita pun merasa was-was, jika citra politik belakangan ini menumbuhkan sikap apatis di kalangan generasi Z. Pasalnya elite politik ketika menyampaikan propaganda dengan jalur logical fallacy pun, seolah-olah itu menjadi hal biasa.
Beruntung, presiden Joko Widodo tak henti-hentinya mengedukasi para politisi dengan cara yang elegan dan santu. Sebagaimana yang terjadi di meja makan, saat bersama dengan ketiga capres 2024 beberapa hari yang lalu.
Nuansa politik santun itulah yang semestinya disebarluaskan oleh para elite politik. Bukan sebaliknya, mengkompor-komporin kemunculan milenial di panggung demokrasi Indonesia, terutama pilpres 2024.
Apa sih susahnya memberikan kepercayaan kepada generasi muda untuk memimpin bangsa Indonesia. Karena beberapa tahun lagi, Indonesia akan memasuki bonus demografi, tepatnya di tahun 2030.
Jadi, generasi milenial dan Z terus gas, jangan kasih kendor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H