Seiring dengan pergantian zaman, ada banyak hal juga ikut mempengaruhi gaya kerja, terlebih bagi pekerja milenial.
Umumnya, pekerja milenial lebih menyukai kebebasan dan paling anti rutinitas di tempat kerja yang kaku atau monoton.
Hal ini berbeda dari generasi sebelumnya. Tapi, pada prinsipnya, generasi milenial akan berkembang di dunia kerja, bila pihak Personalia/HRD memahami karakter atau tipikal mereka.
Pemikiran ini sudah pasti berseberangan dengan pekerja non milenial. Wajar saja, karena setiap generasi punya cara pandang (etika) dalam lingkungan kerja.
Perbedaan pemikiran ini akan membawa persepsi negatif bagi pekerja milenial. Di mana, pekerja yang non milenial akan menilai atau memberikan stigma buruk kepada pekerja milenial.
Akibatnya, Pekerja milenial selalu dicap sebagai generasi kutu loncat, tidak loyal, tidak berintegritas, dan sukanya instan.
Ini bukan pledoi atau pembelaan. Namun, ini tentang bagaimana seorang HRD harus tahu betul tipikal milenial di lingkungan kerja.
Okelah, sebagai pekerja milenial, penulis dan rekan-rekan menerima stigma generasi kutu loncat, dsb.
Tetapi perlu diketahui, bahwasannya pasar industri saat ini mayoritas adalah pekerja milenial.
Pekerja milenial ini juga merupakan aset yang paling penting menjelang bonus demografi 2030.
Lantas, hal penting apa saja yang perlu dipahami oleh para tim rekruiter?
Pertama; Seorang rekruiter mau enggak mau harus memahami hal apa saja yang paling disukai oleh pekerja milenial
Kedua; Perlu adanya komunikasi personal antara seorang rekruiter dengan kelompok pekerja milenial
Ketiga; Setidaknya tim rekruiter mengubah pekerja konvensional dengan memanfaatkan teknologi demi menstimulus kenyamanan pekerja milenial
Keempat; Pekerja milenial tidak terlalu mementingkan gaji, yang paling penting adalah mereka nyaman
Kelima; pekerja milenial menyukai teknologi dan kebebasan dalam bekerja
Tentunya masih banyak lagi faktor pendukung pekerja milenial. Namun jauh dari apa yang tertulis di atas, pekerja milenial akan memilih bertahan pada perusahaan yang memahami kebutuhan mereka. Ketimbang perusahaan yang mementingkan hal-hal konvensional.
Terlepas dari segala persoalan di atas, kita harus mengakui bahwasannya tidak semua perusahaan harus memahami dan mengikuti kebutuhan atau tren pekerja milenial.
Karena setiap perusahaan memiliki style kerja beserta komunikasinya.
Selain itu, pekerja milenial juga dituntut untuk memahami nilai dan cara kerja perusahaan mereka.
Dengan begitu, segala pro dan kontra akan lebih mudah diselesaikan bersama, dan manfaatnya adalah kedua pihak sama-sama merasakan kepuasaan dalam bekerja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H