Sejatinya semua bidang sudah ada tupoksinya. Masalahnya, kecenderungan terbesar kita adalah ingin menguasai atau mengintervensi bidang lain yang bukan kapasitas diri kita.
Akibatnya, terjadilah kekacauan. Kerugian terbesarnya adalah sepakbola kita terjebak.
Lebih parahnya, kita sendirilah yang menyebabkan banyak orang, terutama pemain di Liga 2 dan 3 kehilangan harapan hidup. Termasuk karyawan dan semua pihak yang berada di dalamnya.
Jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah ini adalah setiap instansi fokus dengan koridor atau jalur kerjanya.
Sepakbola Indonesia di Bawah Bayang-Bayang Negara Anggota ASEAN Lainnya
Tak bisa dipungkiri, sejak terjadi kerusuhan di Kanjuruhan dan berdampak pada macetnya sepakbola Indonesia (Liga 2 dan 3), industri sepakbola kita bukannya terus berkembang, justru berjalan di tempat.
Sementara negara-negara ASEAN, seperti Thailand dan Vietnam lari meninggalkan sepakbola kita dengan torehan prestasi.
Kita juga menyadari bahwasannya, problematika di negara kita begitu kompleks, tidak seperti kedua negara di atas.
Karena pengelolaan talenta muda yang tidak merata di setiap pelosok negeri. Padahal, kekayaan sumber daya manusia di bidang olahraga tak pernah suram.
Namun, tendensi sentralisasi pengelolaan sepakbola di daerah tertentu, menyebabkan tiada terakomodir talenta-talenta terbaik di negeri ini.
Masalah ini setidaknya diminimalisir dengan pembinaan sepakbola yang merata di setiap daerah dengan pengawasan ketat dari Kemenpora dan PSSI. Selain memberi jarak seluas sanudera bidang politik untuk masuk ke industri sepakbola nasional.