Segala sesuatu yang kita lihat, rasakan, raba, cium dan apa pun jenisnya adalah bagian dari goresan filsafat kebudayaan - Fredy Suni
Pertama; Ernst Cassirer meletakkan kebudayaan sebagai usaha manusiawi untuk memahami diri sendiri dan mengatasi berbagai persoalan melalui akal budi dan penggunaan simbol-simbol.
Di balik bangunan berlantai 5 Amore Prime School, ada hujan air mata dari Ibu Yasinta, dkk.
Karena perjuangan untuk mendirikan fondasi bangunan tersebut, sejatinya sudah lama dalam draft mereka.
Namun, karena ada satu dan lain hal yang perlu diberesin, maka impian untuk mendirikan bangunan yang akan digunakan peserta didik Sekolah Menegah Atas (SMA) baru terlaksana di tahun ini.
Kedua, Filsuf Friedrich Wilhelm Nietzsche melihat Nihilisme sebagai proses di mana tiada lagi yang tersisa.
Artinya, sejarah perjuangan di balik bangunan Amore Prime School bila tidak diabadikan dalam bentuk tulisan apa pun, niscaya suatu saat, makna perjuangan itu akan hilang, lenyap, sirna dari hadapan kita, khususnya Alumni maupun peserta didik yang sementara mengenyam pendidikan humanistik maupun mereka yang akan merajut masa depan pendidikan mereka di Amore Prime School.
Ketiga, Filsuf Martin Heidegger kurang lebih juga menekankan hal yang sama dengan Nitzsche.
Akan tetapi di sini, Penulis lebih menekankan konsep pikirannya, yakni; segala sesuatu itu ada waktunya.
Lantas apa itu waktu? Karena waktulah yang menciptakan segalanya melalui usaha manusia, dan pada saat yang bersamaan pula, waktulah yang mengakhirinya.