Jakarta akan tetap menarik bagi perantau, karena di kota inilah setiap orang berproses, dari hal kecil menuju sesuatu yang lebih besar. Meskipun, setiap orang tidak tahu, kapan dan di mana ia bertumbuh dan berkembang.
Lantaran, kelahiran, kematian, jodoh, dan karir setiap orang itu unik. Keunikan itu tidak terlepas dari peran perjalanan itu sendiri.
Ya, hidup adalah perjalanan dialektika. Dialektika atau komunikasi dua arah antara diriku dan yang lain. Karena pada dasarnya, kita adalah makhluk sosial.
Sebagai makhluk sosial, tentunya kita saling berbagi apa pun, sejauh kapasitas kita dalam memberi. Ada yang berbagi pengalaman seputar patah hati, ketidakadilan sosial, pasang surut dalam membangun bisnis, karir, dan lain sebagainya.
Begitu pun dengan kehidupan seorang perantau atau diaspora selama mencari suaka/oase/kehidupan di negeri asing. Maka, izinkan saya untuk mengisahkan perjalananku selama mencari kehidupan di jantung Ibukota RI.
Muda Berkelana Tua Bercerita
Sub judul di atas sebenarnya merupakan judul buku terbaru saya. Saya sengaja mengangkatnya, karena ada peristiwa suka dan duka saya seputar pencarian jati diri selama di pulau Jawa.
Perjalananku dimulai dari kota Apel Malang, Jawa Timur. Setelah 6 tahun, saya memutuskan untuk meninggalkan kota pendidikan tersebut.
Penyebabnya ada rasa gelisah akan masa depan saya. Saya pun masih mencari jati diri di sekitar Jawa Timur, tepatnya di kota Tulungagung.
Selama di sana, saya pun sedikit demi sedikit mengetahi gejolak percintaan, ketidakcocokan antara pemilik perusahaan dengan karyawannya, maupun persaingan antar karyawan dalam mendapatkan simpatisan dari atasan.
Lagi, dan lagi saya memilih untuk terus bergerak, mengikuti suara hati. Karena ke mana pun langkah kaki seorang perantau, ia pun tidak tahu, jika di tempat tujuannya tidak ada sumber air untuk di minum.